Sigit Susanto
1. "Buku Harian Perjalanan" (Reisetagebücher)
Kafka sering melakukan perjalanan wisata bersama Brod
yang dibagi dalam empat tahap:
a. Januari/Februari 1911 ke Friedland, Ceko.
Kafka mengunjungi Puri Friedland. Hotel di Friedland.
Papannya besar. Mengingatkan saya pada Yesus yang disalip, yang mungkin tak
sesungguhnya. Tak ada kertas toilet, badai salju menerjang masuk dari bawah.
Saya termasuk tamu lama satu-satunya. Kebanyakan tamu-tamu itu merayakan
perkawinannya di hotel.
Dengan tak yakin, saya ingat kembali, suatu pagi di ruangan diadakan upacara perkawinan. Papan di ruang masuk itu amat dingin. Kamar saya tepat di pintu masuk; saya sama merasakan kedinginan...kembalinya dari Raspenau ke Friedland disamping saya ada seorang manusia yang mirip mati kaku,...yang terindah adalah panorama kaisar, saya tak merasakan kenyamanan, karena saya begitu masuk, tidak mengerti, masuk dengan sepatu tebal anti salju...Brescia, Kremona, Verona.
Dengan tak yakin, saya ingat kembali, suatu pagi di ruangan diadakan upacara perkawinan. Papan di ruang masuk itu amat dingin. Kamar saya tepat di pintu masuk; saya sama merasakan kedinginan...kembalinya dari Raspenau ke Friedland disamping saya ada seorang manusia yang mirip mati kaku,...yang terindah adalah panorama kaisar, saya tak merasakan kenyamanan, karena saya begitu masuk, tidak mengerti, masuk dengan sepatu tebal anti salju...Brescia, Kremona, Verona.
b. Agustus/September 1911 ke München dan Zürich.
Kemudian di lanjutkan ke beberapa kota di Itali,
Switzerland, dan Perancis.
Rimini-Ostende-Genua Nervi (Praha)
Oberital.Seen, Milano (Praha)-Genua, (melewati Locarno
dan Lugano)
Meninggalkan Maggiore, Lugano-Milano, mengunjungi
kota-kota kecil sampai di Bolognese.
Lugano-Paris.
Lugano-Milano (beberapa hari)-Maggiore.
Milano: langsung ke Paris.
Turun di Stresa.
c. Juni/Juli 1912 ke Weimar-Jungborn.
Pada 10 Juli Kafka bangun tengah malam dan bermimpi,
bahwa dia seolah-olah mendengarkan suara deklamasi Goethe, tentang kebebasan
dan kesewenang-wenangan yang tak putus-putusnya.
Pada 11 Juli Kafka berbicara dengan Dr.Friedrich
Schiller, seorang pegawai di Breslau yang pernah belajar tata kota dan tinggal
lama di Paris. Kafka tinggal di hotel dengan panorama kebun royal Palais...dua
kawan saya mengganggu saya, mereka berjalan dan berdiri di pintu berbicara atau
mengajak jalan-jalan. Tapi saya berterima kasih pada mereka, karena saya bisa
membaca "Koran Misionaris Evangelis" edisi Juli 1912 tentang
misionaris di Jawa; "Begitu banyak juga yang menentang terhadap misionaris
yang bertugas sebagai dokter bukan ahlinya, berpraktek pada lingkungan yang luas,
dengan haknya mengajukan keberatan, sehingga sekali lagi alat bantu utamanya
tugas misionaris dan bukan justru menderitakan.
d. September 1913 ke Wina.
Pada 10 September Kafka pergi ke Wina bertemu dan ngobrol
sekenanya tentang sastra dengan seorang bernama Pick. Obrolan itu agak
membosankan, tapi tak bisa berhenti dari dunia sastra. Kafka menggambarkan,
bahwa Pick kukunya telah mencengkeram. Suasana di stasiun kereta api
Heiligenstadt itu lengang, kereta api juga kosong, ada pemerhati di pojok. Di
kejauhan ada orang mencari jadwal perjalanan. Ketololan yang akhirnya saya
hormati. Hotel Matschakerhof, dua kamar dengan satu pintu masuk. Kafka dengan P
jalan menyusuri lorong, makin cepat. Angin kencang. Yang dikenal, semua
terlupakan. Tidur tak nyaman perlu perhatian. Impian yang memuakkan. Pertanyaan
pada buku harian, otomatis pertanyaan atas keseluruhan, mengandung ketidak
mungkinan seluruhnya. Di Kereta Kafka mempertimbangkan kembali pembicaraannya
dengan P. Itu tak mungkin, semuanya dikatakan dan itu tak mungkin, semuanya
tidak dikatakan. Tak mungkin menjaga kebebasan, tak mungkin tak menjaganya. Tak
mungkin dari kehidupan yang mungkin dilakukan, yaitu hidup bersama, setiap
kebebasan, masing-masing untuk dirinya, bukan tak mungkin untuk kawin, hanya
bersama-sama. P adalah orang yang pemberani, dengan sedikit celah yang tak
mengenakkan. Terlalu pagi di parlemen pada kongres Zionis. Dengan Lisa.W.
dengan perasaan saya pada gadis itu (bagaimanapun seperti jalan melingkar ke
saya) mungkin perasaan sosial saya.
Kafka dalam menulis buku harian perjalanannya tidak ketat
dengan jadwal waktu, namun terjadi loncatan peristiwa yang ditulis pendek
bergaya puitis. Pembaca diajak untuk mengelabuhi dan memprediksikan luapan
perasaan dalam perjalanannya.
2. "Metamorfosa" (Die Verwandlung)
Suatu pagi ketika Gregor Samsa akan bangun dari tempat
tidur dan mendadak berubah menjadi seekor kumbang, padahal dirinya tidak mati,
tidak melalui proses reinkarnasi, dia masih benar-benar hidup, juga bukan
sebuah impian belaka, namun peristiwa nyata, jari-jarinya yang kecil dan
lengket dan masih di tutup selimut. "Oh, Tuhan," pikir Gregor,
pekerjaan sulit apa yang telah saya pilih. Ketika Ayah Gregor memanggil dari
luar kamar, Gregor pun tak mau menjawab, namun ketika saudara perempuannya
memanggilnya, Gregor menjawab; "Saya sudah siap". Suara itu pun mirip
suara serangga. Pembaca dibuat tidak yakin, bahkan yang tak terbiasa dengan
karya Kafka mungkin merasa aneh. Tapi itu memang model khas Kafka, yang tak
jauh dari kehidupan pribadinya, bahwa Kafka yang diibaratkan Gregor Samsa
merasa kecil dihadapan Ayahnya, oleh karena ketika di panggil Ayahnya keluar
kamar Gregor tak menjawab. Milo Dor, seorang sastrawan emigran dari Yugoslavia
di Jerman secara blak-blakan meniru model Kafka. Milo Dor menulis cerita
berjudul "Kematian Lompatan" (Salto Mortale) berkisah; seorang
redaktur koran yang bangun pada pagi hari, tiba-tiba tak dikenal lagi oleh sekitarnya,
dia tidak mati, namun berbentuk mahkluk lain tak kelihatan, pacarnya juga tak
mengenal dan melihat, kedudukannya sebagai redaktur koran telah diganti kawan
lain, tapi dia ada disitu. Pembaca mendapat penjelasan yang rasional pada akhir
cerita. Karya Milo Dor ini tahun 1959 telah dibacakan di depan forum kelompok
47 dan mendapat serangan kritik yang tajam.
3. "Seorang Dokter Daerah" (Ein Landarzt)
Saya dalam kebimbangan yang mendalam: sebuah tugas
perjalanan mendesak; seorang yang sakit menunggu saya, yang jaraknya 10 mile di
desa; hujan salju berangin kencang di sepanjang jarak antara saya dan dia; saya
dulunya punya mobil, ringan, yg seperti orang di jalan pergunakan; pada kopor
berbulu, peralatan tas sudah di tangan, saya sudah siap berangkat; tapi masih
kurang kudanya, kuda. Kuda saya mati beberapa malam yang lalu, karena kerja
keras pada musim dingin yang mencekam ini. Pembantu perempuan saya lari ke desa
mencari pinjaman kuda; namun tak ada harapan, saya sadar karena makin banyak
tertimbun salju, saya berdiri di sana tak bergerak dan tanpa tujuan. Di pintu
seorang gadis berdiri sendirian menggerakkan lentera; tentu, siapa sekarang
yang akan meminjamkan kuda untuk perjalanan semacam itu? Saya tengok ke
halaman; tak ada kemungkinan lagi; terobek, tersiksa saya dorongkan kaki saya
ke pintu darurat kandang babi yang sudah tahunan tak dipakai. Pintu itu
terbuka. Terasa hangat dan berbau ada kuda yang datang. Sebuah lentera kusam di
kandang itu bergoyang di dalam pada seutas tali. Seorang laki, berbaring di
gubuk yang rendah itu, menunjukkan wajah mata kebiruan. "Haruskah saya
memasangkan pakaian kuda ?" tanya dia, sambil merangkak ke depan. Saya tak
tahu apa yang harus dikatakan dan saya hanya melihat kedalam apakah yang masih
ada di dalam kandang itu. Pembantu rumah sudah berdiri di samping saya.
"Orang tak tahu, barang apa saja yang dimiliki orang itu di
rumahnya", katanya dan kami tertawa. "Halo, saudara laki-laki, halo
saudara perempuan" kata buruh kuda dan dua kuda, binatang berkekuatan
sepak itu jalan tunggang langgang, pahanya dekat tubuh, kepalanya merendah bak
unta, hanya dengan kekuatannya menggerakkan tubuhnya dari lobang pintu,
tubuhnya padat. Tapi berdiri sama tegak lurus berpaha tinggi, tubuhnya menguap.
"Bantu dia", kata saya dan gadis itu cekatan membantu buruh memasang
peralatan kuda ke keretanya. Jarang terjadi pada buruh seperti itu, dengan
pegang erat dan mencambuk di wajahnya.
Melangkah dan pergi ke arah saya; ada bekas baris gigi
warna merah di pipi gadis itu. "Kau Sapi", bentak saya marah, "
Kamu akan cambuk?", pikir saya tapi dia orang asing; yang saya tak kenal,
dari mana dia berasal dan dia sudah membantu dengan sukarela, dimana yang
lainnya menolak. Ketika dia memahami pikiran saya, dia anggap ancaman saya tak
jelek, melainkan dia nampak sangat sibuk dengan kudanya. "Naik", kata
dia dan sebenarnya: semua siap. Dengan kereta sebagus itu, saya akui, saya
belum pernah mencobanya dan saya naik dengan senang. "Tapi saya akan
mengendalikan, kau belum tahu jalannya", kata saya. "Beres" kata
dia. "Saya tak mau ikut, saya tinggal bersama Rosa".
"Tidak" teriak Rosa dan melaju ke arah firasat yang tepat, nasib yang
tak bisa dihindari tiba di rumah; saya mendengar sebuah rantai pintu
bergerincing, di letakkan; saya dengar kuncinya diambil alih; saya lihat,
sepertinya tak lain sebagai tanah garapan dan selanjutnya lewat kamar semua
lampu padam, tak bisa ditemukan. "Kamu ikut pergi", kata saya pada
buruh itu, " atau saya menyerah saja dari perjalanan ini, cepatlah. Ada
yang tak cocok disini, kamu mengikutkan gadis yang sebagai pengorbanan
diri". "Bangun!" kata dia; bertepuk tangan, keretanya terkoyak,
bagaikan kayu di terpa topan; masih saya dengar, seperti pintu rumah saya di
bawah serangan buruh. Mata dan telinga saya terpenuhi deru yang bertubi-tubi.
Tapi hanya sebentar saja, terbukalah pintu ladang dari
ladang pasien saya, saya sudah berada disana; tenanglah kuda; hujan salju sudah
berhenti; Bulan sudah mengitari; orang tua yang sakit itu tergopoh-gopoh keluar
rumah; saudara perempuannya membuntuti; saya di papak keluar kereta, saya tak
akan mengurus pembicaraan yang rumit; di kamar orang sakit udaranya pengap;
asap tungku kompor terabaikan; saya akan buka jendela itu; tapi pertama kali
saya akan melihat orang yang sakit. Kurus, tidak demam, tidak panas, tidak
dingin, matanya kosong, tak berbaju anak muda itu hanya berselimut di
gantungkan di leher saya, saya dibisiki di telinga: "Dokter, biarkanlah
saya mati. "Saya melihat sekeliling; tak seorang pun yang dengar; orang
tuanya membungkuk diam membisu dan menunggu keputusan saya; saudara
perempuannya menaruh tas saya di kursi. Saya buka tas itu dan mencari peralatan
saya; anak muda itu meraba-raba dari tempat tidur ke arah saya, minta agar saya
mengingat permintaanya; saya pegang pinset, mengontrol dengan lampu lilin dan
saya letakkan kembali. "Ya", pikir saya dalam umpatan, "dalam
kondisi seperti itu, Tuhan membantu, kirimlah kuda yang hilang, tambahkan
dengan segera untuk kedua kalinya, membantu kelalaian buruh kuda. "Sekarang
saya kehilangan Rosa; apa yang saya lakukan, dimana saya harus menolongnya;
bagaimana kalau kembali lagi seperti semula bertemu dengan buruh kuda, 10 mile
dari sini, kuda yang tak jantan pada kereta saya? Kuda ini sekarang sabuknya
kita longgarkan; jendelanya, bagaimana saya tak tahu, dorong dari luar; tiap
orang melongok keluar lewat jendela, tak tergoyahkan dengan jeritan keluarga,
orang yang sakit memandang lama. "Saya akan segera pulang", pikir
saya, ketika saya dorong kuda itu untuk melanjutkan perjalanan, tapi saya tahan,
bahwa saudara perempuannya yang telah membius saya dengan hawa panas menaruh
koper bulu saya. Segelas rum disediakan untuk saya, orang yang tua menepuk bahu
saya, nilai pengabdiannya yang meyakinkan sudah usai. Saya menggelengkan
kepala, dalam lingkup pikiran orang tua itu, saya anggap buruk; atas dasar itu,
saya tolak untuk meminumnya.
Ibu itu duduk di tempat tidur dan mengunci saya; saya
ikuti dan rebahkan, sementara saya dengar seekor kuda meringkik keras lewat
atap kamar, kepalanya di dada anak muda itu, di bawah jenggot saya yang basah.
Yakin, apa yang saya ketahui: anak muda itu sehat, hanya sedikit pendarahan,
dari rawatan ibunya yang diberi minum kopi, tapi sehat dan yang terbaik harus
bergerak dari tempat tidur. Saya bukan orang reparasi dunia dan saya biarkan
dia tergeletak. Saya ditugaskan dari daerah dan saya lakukan tugas saya hingga
sampai di pinggiran. Sampai sejauh yang saya lakukan. Gajinya jelek, tapi saya
murah hati dan siap bantu terhadap yang miskin. Juga pada Rosa, saya harus mengurusnya,
kemudian anak muda itu berbinar-binar dan saya juga akan mati. Apa yang harus
saya lakukan pada musim dingin yang tak henti-henti ini! Kuda saya telah mati
dan tak ada lagi di desa itu, yang bisa meminjamkan kuda. Dari kandang babi
saya harus tarik kereta saya, tak adakah kuda secara kebetulan, saya harus
jalan dengan kereta. Begitulah. Saya mengangguk kepada keluarga itu. Mereka tak
mengerti dan bila mereka tahu, mereka tentu akan tak percaya. Menulis resep
adalah mudah, tapi memahami mereka adalah sulit. Disinilah kunjungan saya
berakhir, orang kadang mengeluh yang tak perlu, tapi saya sudah terbiasa,
dengan bantuan lonceng malam saya sebagai siksaan untuk seluruh daerah, tapi
kali ini saya harus mengurus Rosa, gadis menarik yang bertahun-tahun tak pernah
mendapat perhatian, tinggal di rumah saya-pengorbanan ini terlalu besar dan
saya harus menaruh bantuannya pada benak saya, bukan membiarkan pada keluarga,
dengan kemauannya yang terbaik tak dapat memberikan kembali pada saya. Ketika
saya menutup tas gantungan, melambaikan tangan sambil bawa jaket bulu, keluarga
itu berdiri bersama, ayahnya menarik nafas terhadap segelas rum di tangannya,
ibunya saya kira kecewa-ya, apa yang di harapkan rakyat?-menghujani air mata di
bibirnya yang hangat, dan saudara perempuannya melambaikan dengan handuk yang
bergelepotan darah, bagaimanapun saya siap, menerima keadaan, bahwa anak muda
itu mungkin sakit. Saya mendatanginya, dia menyambut dengan senyum, ketika saya
membawakan sop kental- ah, sekarang kedua kuda meringkik; suaranya jadi merdu,
pada tempat yang agak tinggi, memudahkan perawatan- dan sekarang saya
menemukan: ya, anak muda itu sakit. Di sebelah kanannya, ke arah paha telah
terluka selebar piring kecil. Rosa, dalam bayang-bayang gelap yang dalam,
terang hingga sampai pinggiran, butir-butir kecil yang halus, dengan tak
beraturan mengumpulkan darah, terbuka seperti pekerjaan gunung di hari-hari
sibuk. Begitulah dari kejauhan, di kedekatan justru makin sulit. Siapa yang
bisa memandangi tanpa bersiul lembut? Cacing-cacing, pada kekuatannya dan
kepanjangannya sama dengan kecilnya jari saya, merah sendiri dan disamping itu
disuntik berdarah, melilit, di bagian dalam lukanya berhenti, dengan kepala
putih, dengan banyak paha-paha tersorot lampu. Anak muda yang malang, tak bisa
menolong kamu. Saya menemukan luka kamu yang besar; pada bunga-bunga pada sisi
kamu pergilah kamu ke dasar. Keluraganya bahagia, dia melihat saya sibuk;
saudara perempuannya berkata pada ibunya, ibunya berkata pada ayahnya, ayahnya
berkata pada tamu-tamunya, hingga paling ujung, selaras dengan kemiskinannya,
lewat cahaya bulan yang masuk ke pintu terbuka. "Akankah kamu
menyelamatkan saya?" bisik anak muda itu terisak-isak, benar-benar
mengesankan kehidupan dalam lukanya. Itulah orang-orang di depan saya. Selalu
mengharapkan ketidak mungkinan dari dokter. Kepercayaan kunonya telah sirna:
pendeta duduk di rumah dan membongkar dinding misa, satu sama lainnya; tapi
dokter harus mengurus dengan semua keterampilan kedokteran yang handal.
Sekarang, mana yang menarik: saya tidak menawarkan; mereka pergunakan kah saya
pada perlindungan suci, saya biarkan juga dengan yang terjadi pada saya, apa
yang akan saya lakukan lebih baik, dokter daerah tua, sergah pembantu rumah
saya! Dan kamu datang, keluarga dan orang-orang tua desa dan menelanjangi saya;
sebuah kor sekolah dengan guru berdiri di ujung depan rumah dan bernyanyi
sebuah melodi khusus yang sederhana dari teks:
"Telanjangi dia, dia nanti akan mengobati
Dan bila dia tak mengobati, bunuhlah dia!
Dia hanya seorang dokter, dia hanya seorang dokter."
Kemudian saya telanjang dan lihat, jari-jarinya di
jenggot, dengan kepala miring, orang-orang diam. Saya sekujur di raba dan
semuanya merenungkan dan tetap tinggal, meski tak membantu saya, sekarang
mereka membawa saya di bagian kepala dan pada bagian kaki dan membawa saya ke
tempat tidur. Ke pagar, pada bagian terluka mereka meletakkan saya. Kemudian
semua pergi ke ruang tamu; pintunya tertutup; lagu-lagunya membisu; Awan
memasuki di depan bulan; untuk saya, peralatan tempat tidur itu hangat,
bayangan kepala kuda bergoyang di lobang-lobang jendela. "Tahukah
kamu", saya dengar, dikatakan pada telinga saya, "kepercayaan saya
pada kamu sangat tipis. Kamu dimanapun juga ya hanya terbebaskan, tidak berasal
dari kakinya sendiri. Disamping membantu, kamu sempit di tempat tidur kematian
saya. Yang paling baik, saya garuk kamu di bagian mata."
"Benar", kata saya, "itu sebuah penghinaan. Tapi sekarang saya
dokter. Apa yang harus saya lakukan? Percayalah pada saya, juga bagi saya bukan
hal yang mudah." "Dengan permintaan maaf akankah saya puas? Dengan
luka yang indah saya lahir di dunia; itu seluruh peralatan saya."
"Anak muda", kata saya, "kesalahan kamu adalah: kamu tak punya
wawasan. Saya yang sudah di semua rumah sakit, luas dan lebar, saya alami, saya
katakan pada kamu: Luka kamu adalah tidak buruk. Di ujung siku terkena cangkul.
Banyak yang menawarkan dan jarang yang mendengarkan cangkul di hutan itu,
kemudian diam, bahwa dia makin mendekat." "Apakah benar-benar seperti
itu atau kamu memperdaya saya tentang sakit demam itu?" "Memang benar
demikian, ambillah sumpah jabatan dokter dengan merendah." Dan dia
bersumpah dan diam. Tapi sekarang kesempatan saya untuk memikirkan pertolongan.
Kuda masih berdiri setia di tempatnya, mengemasi pakaian, jaket bulu dan tas;
dengan berpakaian saya tak ingin membiarkan terbuka; kuda tergesa-gesa seperti
waktu perjalanan kemari, saya melompat ya agaknya dari tempat tidur ke tempat
saya sendiri. Dengan patuh seekor kuda kembali manarik; saya lemparkan bola ke
dalam kereta; jaket bulunya melayang agak jauh, dia menangkap lengan bajunya
dan di gantungkan. Cukup bagus. Saya sudah biasa di atas kuda. Sabuknya
tergesek kendor, seekor kuda jarang terikat dengan benda lain, keretanya
berkelana di belakangnya, terakhir jaket bulunya jatuh di salju.
"Beres", kata saya, tapi beres juga tidak; pelan-pelan seperti orang
tua kami menarik diri lewat ladang tandus bersalju; di belakang kita ada yang
aneh, suara panjang berbunyi, tapi lagu sepintas dari anak-anak:
"Berbahagialah kalian, pasien-pasien kamu,
Dokter kalian juga tergeletak di tempat tidur!"
Tak pernah saya sampai rumah; praktek saya yang membara
telah hilang; seorang pengikut saya mencuri saya, tapi tanpa guna, tak mungkin
dia bisa menggantikan saya; di rumah saya buruh kuda marah menjijikan; Rosa
sebagai korbannya; saya tak habis pikir. Telanjang, pada suhu dingin yang
mencekam itu, dengan kereta bumi, kuda-kuda yang tak alami, saya berlagak
seperti orang tua kesana-kemari. Jaket bulu saya tergantung di kereta, saya tak
bisa menjangkaunya dan tak ada kaum bajingan pasien bergerak menyentuh
jari-jari. Kebohongan! Kebohongan! Sekali lagi lonceng jam malam berdetak aneh
- tak pernah diperbaiki.(Tamat)
4."Di Depan Hukum" (Vor dem Gesetz)
Di depan hukum berdiri seorang penjaga pintu. Seorang
dari desa datang menemui penjaga pintu dan minta izin untuk menghadap hukum.
Tapi penjaga pintu tersebut menolaknya untuk memberi izin masuk sekarang. Orang
desa itu menanyakan, apakah dirinya nanti bisa masuk. "Itu mungkin, tapi
tidak sekarang," jawab penjaga pintu. Ketika pintu pengadilan itu terbuka
seperti biasanya dan penjaga pintu menepi, orang desa itu telah melihat ke
ruang dalam pengadilan. Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan
berkata; "Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun
dilarang. Tapi ingat; Saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling
rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah di jaga oleh penjaga pintu, satu
dengan yang lain makin tinggi kekuasaanya. Bahkan saya tidak bisa menanggung
pada pintu ke tiga". Orang desa itu tak mengharapkan kesulitan; hukum
harus berlaku adil kepada semua manusia, dia pikir, tapi dia sekarang lebih
memperhatikan penjaga pintu yang mengenakan jaket besar berbulu, berhidung mancung
dan berjenggot panjang serta tipis, dia masih optimis untuk dapat izin masuk.
Penjaga pintu memberi bangku kecil sambil mempersilakan untuk duduk dekat
pintu. Dia duduk berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Dia mencoba minta izin
masuk, namun ditolak oleh penjaga pintu. Bahkan penjaga pintu bertanya pada
orang desa itu tentang keluarganya dan berbincang banyak hal, namun
pertanyaanya membosankan. Penjaga pintu berlagak seperti tuan besar, akhirnya
dia tetap berkata lagi, bahwa orang desa itu belum boleh masuk. Orang yang
membawa banyak barang berharga untuk perjalanannya, dengan mudah menyuap
penjaga pintu. Akan tetapi penjaga pintu berkata; "Saya hanya menerimanya,
sehingga kamu jangan berpikir, kamu telah sembrono pada semuanya". Setelah
lewat bertahun-tahun, orang desa itu memperhatikan penjaga pintu terus menerus.
Dia lupa pada penjaga pintu yang lain dan penjaga pintu pertama ini hanya
merupakan halangan untuk masuk pengadilan. Dia mengutuk nasib buruknya, pada
tahun-tahun awal dan dengan penuh kehati-hatian, setelah dia makin tua, dia
sering menggerutu pada dirinya sendiri. Dia menjadi kekanak-kanakan dan selama
pengamatannya pada penjaga pintu, dia mulai tahu ada kutu pada jaket bulunya
dan ingin membantunya untuk merubah sikap penjaga pintu. Akhirnya, pandangannya
makin kabur, dan dia tidak tahu lagi, bila hari makin gelap atau bila matanya
telah menipu dirinya. Tapi makin sadar, betapa sulitnya menuju ke pengadilan.
Dia tak bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum dia mati, seluruh pengalamannya
di kumpulkan dalam benaknya untuk menemukan sebuah pertanyaan, yang dia sendiri
belum tanyakan pada penjaga pintu. Dia memanggil penjaga pintu, sementara dia
sendiri tak bisa mengangkat tubuhnya yang kaku. Penjaga pintu harus
membungkukkan begitu rendah, karena ketinggian antara keduanya telah berubah,
banyak yang menyengsarakan orang desa itu. "Kau masih ingin tanya
apalagi?" tanya penjaga pintu. "Kamu rakus". "Semua orang
berupaya menghadap pengadilan", kata orang itu. "Bagaimana mungkin,
bertahun-tahun lamanya, tak seorang pun kecuali saya telah minta izin menghadap
ke pengadilan?". Penjaga pintu itu sadar, bahwa orang itu sudah mendekati
kematian, disamping kedunguannya bertambah, dan untuk masuk penjaga pintu
berkata keras pada orang desa itu: "Tak ada orang lain dapat izin masuk
kesini, karena pintu ini di maksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan
saya tutup pintunya.(Tamat)
5. "Pemburu Gracchus" (Der Jäger Gracchus)
Dua anak laki-laki duduk di tembok dermaga dan bermain
dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada tangga monumen di bawah bayangan
pahlawan yang sedang mengayunkan pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di
tongnya. Seorang pedagang sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan
memandang ke arah danau. Dari dalam warung kopi orang mengintip lewat pintu-
dan lubang jendela ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik warung kopi itu
duduk di depan pada sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang
pelan, sepertinya sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil.
Seorang lelaki mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat
ring-ring. Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak
memikul tandu di belakang pegawai perahu, di bawah sana tergeletak dengan jelas
seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.
Di dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang
baru, sendirian ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai
perahu, tali-tali masih dikerjakan, tak ada orang yang masuk, tak ada orang
yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih
memperhatikan mereka dengan saksama.
Pimpinan perahu sekarang menunjukkan dek perahu dengan
leluasa melalui seorang perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih
dada. Kemudian datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang
sedikit menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya
lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar ramping.
Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana rombongan itu
menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi jendelanya. Pintunya
sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik hitam yang rapi. Sekelompok
merpati telah terbang mengelilingi menara jam, sekarang hinggap di depan rumah.
Ketika mereka akan mencari makanan, merpati-merpati itu berkumpul di depan
pintu. Seekor terbang sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu
merpati-merpati yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat,
ibu itu melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan
terbang melintasi ibu itu.
Seorang laki-laki mengenakan topi bundar dengan ikat
simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang penuh sampah menuju ke pelabuhan.
Dia menoleh ke sana-kemari, semua dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada
sampah di pojok, wajahnya menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah,
sambil lewat dia menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di
pintu ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan
tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah
laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.
Pimpinan perahu menuruni tangga, menyalami orang
laki-laki di situ, diajak naik ke lantai pertama, pimpinan perahu itu merasa
ringan untuk bergaul dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan
keduanya masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong
dengan penuh sopan, di sebuah kamar besar yang dingin di belakang samping
rumah, tampak di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan hanya sebuah ladang
tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan. Tukang pikul supaya
kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa lilin panjang dan
dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu hanya bayang-bayang sepi yang
seram dan berkedip-kedip di atas dinding. Dari tandu itu hanya dililit
selendang. Di tandu itu berbaring seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot
yang tumbuh liar tak beraturan, berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia
tergeletak tak bergerak, sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya,
meski demikian hanya mengisyaratkan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah
mayat.
Orang laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan
tangannya ke dahi, kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi
isyarat dengan tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka
keluar menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan
menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya, dia
memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah lewat sebuah
pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu, matanya terbelalak,
wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang laki-laki di situ dan mengatakan:
"Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang sedang berlutut itu bangkit
tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota dari Riva."
Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan kondisi lengannya
yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi undangan wali kota:
"Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap saya selalu lupa
semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan itu lebih baik, saya
tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga Anda mungkin sudah tahu, bahwa
saya pemburu Gracchus".
"Tentu," kata wali kota. "Anda memberitahu
saya malam hari ini. Kami tidur pulas. Di tengah malam istri saya memanggil:
"Salvatore", -itu nama saya- "lihatlah merpati di jendela!"
Itu benar-benar seekor merpati, tapi besar seperti seekor ayam. Merpati itu
terbang ke telinga saya dan berbisik: "Besok datang seorang pemburu
Gracchus yang sudah mati, sambutlah dia atas nama seluruh warga kota."
Pemburu itu mengangguk dan menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua
bibirnya: "Ya, merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku.
Yakinkah Anda, tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?"
"Saya belum bisa menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah
mati?" "Ya," kata pemburu, "seperti yang Anda lihat.
Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari
sebuah batu wadas di Schwarzwald - itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor
kambing gunung. Sejak itu saya mati." "Tapi Anda masih hidup juga,"
kata wali kota.
"Boleh dikatakan begitu," kata pemburu,
"agaknya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya salah jalan,
sebuah putaran yang salah pada setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian
dari pimpinan perahu, membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya
tidak tahu, apa itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa
perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya
bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati
semua negara-negara di bumi. "Dan Anda tidak punya bagian di
akhirat?" tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu,
"selalu di tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak
terbatas itu saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke
kanan, kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah
menjadi seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak
tertawa," wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa
dimengerti," kata pemburu. "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat
jauh dan di atas pintu saya tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di
dalam perahu air yang sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya
yang sekali itu, saya meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu
mengetuk pintu dan membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami
segera melayari ke pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai kayu, tapi
saya tak merasa nyaman, memandang berlama-lama - sebuah pakaian mayat yang
kotor, rambut, jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa dibereskan berantakan,
paha-paha saya ditutupi dengan selendang perempuan panjang berhiaskan bunga
sutera besar. Di depan kepala saya terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke
arah saya. Di dinding seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang
dari semak belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di
belakang ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu di
perahu kadang menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang paling tolol.
Kalau tidak, keranjang kayu saya ini akan sama sekali kosong. Lewat sebuah
lubang di sisi dinding mengalir udara malam yang panas dari arah selatan, dan
saya dengar air mengombang-ambingkan tandu tua. Di sinilah saya tinggal sejak
dulu, ketika saya masih hidup menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald
saya menguntit kambing gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi.
Saya membuntuti, saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini
seharusnya membawa saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di
sini pertama kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini
mendengar nyanyian saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih
remang-remang.
Saya dulu senang hidup dan senang mati, saya terlempar
bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu, mengumpulkan kaleng-kaleng
bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan bawah saya, saya selalu bangga
memakainya, dan menyelinap di pakaian mayat, bagaikan seorang gadis yang
mengenakan pakaian perkawinan. Di sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi
musibah". "Sebuah nasib yang malang," kata wali kota menampik
dengan mengangkat tangan. "Dan Anda tak merasa bersalah?"
"Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu, apakah itu sebuah
kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di Schwarzwald, dimana dulu
masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk mengintai, menembak,
bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah? Pekerjaan saya telah direstui.
`Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah saya.` Apakah itu sebuah
kesalahan?"
"Saya tak punya tugas untuk memutuskan hal
itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat kesalahan pada saya.
Tapi siapa yang bersalah?"
"Orang di perahu," kata pemburu. "Tak
pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah ada orang datang, membantu
saya; sebenarnya menurut hukum ada orang yang membantu saya, semua pintu rumah
terkunci, semua jendela tertutup, semua tertidur, selimutnya menutup kepala,
sebuah pondokan malam di seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang
pun tahu tentang saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti
dimana persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila
saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu saya.
Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus berbaring di
tempat tidur untuk disembuhkan.
Itu saya tahu dan juga tak perlu berteriak, meminta
bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak berkuasa seperti saya, contoh
langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi cukup senang untuk mengusir pemikiran
seperti itu, bila saya melihat sekeliling dan membayangkan saya, dimana saya
berada - saya bisa menganggap gembira - sejak berabad-abad saya tinggal."
“Luar biasa," kata wali kota, "luar
biasa." Dan sekarang Anda memperingatkan pada kita untuk tinggal di
Riva?"
"Saya tak memperingatkan," kata pemburu tertawa
dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di lutut wali kota.
"Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari itu saya tidak
bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu berjalan dengan kekuatan
angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah kematian.
***
6. "Surat untuk Ayah" (Brief an den Vater)
Ayah yang terhormat,
Kau pernah tanya saya, mengapa saya merasa takut dengan
kamu. Saya tidak tahu, seperti biasa, apa yang saya jawab, sebagian besar dari
ketakutan kepada kamu dan sebagian karena akibat dari takut itu begitu banyak
kerumitan saya sehingga menghalangi berkata...kau menginginkan saya menjadi
anak yang kuat dan pemberani...saya ingat, misalnya; bagaimana ketika kita
tidak saling berpakaian di kamar ganti. Saya kurus, lemah; kamu kuat, tinggi,
besar...sekarang dibandingkan dengan saya, kau sungguh sering mengagumkan
benar,...saya juga harus mengakui sering menyakiti kamu dengan ucapan, tapi
kemudian saya tahu, saya tak bisa menarik kata-kata itu lagi...selamanya saya
tak bergembira: antara pilihan saya mengikuti perintah kamu, yang sudah tak
menggembirakan atau saya menerima tantangan, yang tak menyenangkan, bagaimana
saya berani menolak kamu...selama masa kanak-kakak saya, hanya karena rasa
salah yang mengitari telah mempengaruhi ketidak harapan kita, kamu dan
saya...pembicaraan damai yang tak memungkinkan: saya kehilangan kemampuan
bicara, saya tak bisa berpikir apalagi bicara di hadapan kamu. Dan karena kamu
lah yang membesarkan saya, yang kemudian mempengaruhi kehidupan saya.
Benar-benar sebuah kesalahan, bahwa kamu mengira saya tak pernah mematuhi kamu.
"Selalu menentang segalanya", adalah benar-benar bukan prinsip
kehidupan saya terhadap kamu. Kebiasaan komentar kamu kepada juru tulis kita
yang menderita penyakit tebese; "Biarkan dia mengaok, anjing sakit
itu". Kamu juga memanggil pegawai kamu "Musuh Bayaran", dan ini
situasinya dulu, meskipun sebelumnya mereka sudah di perlakukan begitu, kamu di
mata saya, justru sebagai "Musuh Bayaran" dari mereka. Begitulah,
saya banyak belajar, bahwa kamu berlaku tak adil...kamu hanya menunjukan masa
kanak-kakak saya, bahwa ajaran Yahudi lah yang paling benar, selain itu adalah
tak berguna, (sebenarnya kamu tak memusuhi Yahudi, tapi memusuhi saya)...saya
melihat sebuah ketidak mungkinan perkawinan saya, sejauh ini bagaikan sebuah
teror kehidupan saya, bagi saya sebuah yang tak berpengharapan. Perkembangan
anak begitu lamban...mengapa kemudian saya tidak kawin? Hambatan yang utama,
bagaimanapun, karena tak beruntung merdeka dari masalah pribadi, saya
benar-benar tak mampu kawin secara spiritual. Kesadaran ini kenyataanya sekarang,
saya putuskan untuk kawin, saya tak dapat tidur nyenyak, kepala saya terbakar
siang dan malam, kehidupan yang tak lama, saya membuat keputusasaan. Saya
mengajak berperang satu sama lain, tapi ada dua jenis perang. Perang secara
kesatria, permusuhan yang independen terhadap kekuatan kita, setiap orang untuk
dirinya, kekalahan untuk dirinya, menang untuk dirinya.
Surat Kafka untuk Ayahnya Herman Kafka itu ditulis pada
bulan November 1919 dan belum pernah diberikan Ayahnya. Baru pada tahun 1937
Surat itu diterbitkan secara lengkap. Surat tersebut di tulis lebih dari
seratus halaman sebagai upaya pendobrakan terhadap kebesaran figur Ayah yang
otoriter. Surat itu di tulis Kafka secara sistematis; tentang masa kanak-kakak
yang lemah, pengaruh Yahudi, ketakutan dalam perkawinan, juga perlakuan tak
adil Ayah Kafka dengan pegawainya. Inti surat itu berisi pergolakan kedua insan
manusia antara yang kuat dan yang lemah. Surat untuk Ayah ini menjadi sangat
penting, karena banyak peneliti karya Kafka sering mengkaitkan karya-karya
Kafka dengan Surat untuk Ayahnya.
7."Surat untuk Milena" (Brief an Milena)
Yang tercinta Nyonya Milena,
Saya menulis untuk kamu dari Praha dan kemudian dari
Meran. Saya tak mendapatkan jawaban. Sekarang secarik kertas ya tak membutuhkan
jawaban segera, dan bila kamu diam tak lain adalah sebagai simbol keadaan yang
baik, sering muncul keengganan dalam bersurat, sehingga saya benar-benar puas.
Tapi itu juga mungkin- dan oleh karenanya saya menulis- bahwa surat saya kepada
kamu sepertinya telah melukai (yang mana terhadap semua keinginan saya, secara
kasar yang saya tulis, bila itu harus terjadi) atau kebebasan menjadi lebih
buruk, bahwa bisa bernafas lega sebentar dari yang kamu tulis, mungkin sudah
lewat dan mungkin waktu yang tidak tepat untuk kedatanganmu. Kemungkinan
pertama, saya tidak tahu apa yang dikatakan, begitu jauh jaraknya dari saya dan
semuanya yang lain begitu dekat, kedua kemungkinan itu saya tak bisa
meramalkan-bagaimana saya bisa meramalkan?-melainkan hanya bertanya; Mengapa kamu
tidak pergi lebih jauh keluar dari Wina? Kamu bukan tak memiliki kampung
halaman seperti yang lainnya. Akankah kamu singgah di kekuatan baru Böhmen? Dan
bila kamu punya alasan lain yang saya tidak tahu, mungkin tidak ingin ke
Böhmen, kemudian kemana, mungkin ke Meran juga bagus. Tahukah kamu itu? Saya
juga menunggu dua kemungkinan. Antara tetap diam, artinya: "Jangan
khawatir, saya baik-baik saja". Atau menulis beberapa baris.
Salam Kafka
Ada yang kurang, bahwa saya sebenarnya tidak dapat
mengingat lagi wajah kamu secara rinci. Hanya bagaimana kamu berada dan
meninggalkan meja warung kopi, rupa kamu, pakaian kamu, itu yang masih saya
ingat.(Tamat)
Surat lengkap pertama ini di tulis oleh Kafka untuk
Milena di awal tahun 1920. Dan diteruskan dengan puluhan surat yang
mencerminkan; gairah, ketakutan, dan kelemahan. Kafka menulis; "Kamu tahu,
bagaimana saya membenci menulis surat". Semua ketidak bahagiaan Kafka
berasal dari surat atau mungkin dari menulis surat. Berkali-kali Kafka mengeluh
sendiri bagaikan; "Hidup yang tidak berkehidupan". Hidup tidak harus
lebih dari dua jam, seperti menulis surat sebanyak dua halaman. Bila Kafka
menulis surat untuk Milena, artinya Kafka sedang melepas hantu, dimana sedang
di tunggu dengan cemas, ciuman tertulis itu tak menuju ke tempat Milena,
melainkan di ambil oleh hantu di jalan. Kafka meminta Milena untuk tak sering
menulis surat; "Surat yang datang tiap hari tidak memperkokoh, justru
makin memperlemah". Kafka lebih lanjut mengatakan; "Bila tak ada surat
datang, saya menunggu, bila ada surat datang, saya mengeluh". Kafka juga
memuji Milena lewat suratnya pada Brod; "Dia bagaikan api yang menyala,
sepertinya saya tak pernah bertemu...disamping lembut, pemberani,
pandai..."
Milena menulis surat pada Brod; "Kafka dapat tenang
di samping saya, dia dalam beberapa hari ini sudah kehilangan rasa takutnya.
Kita tahu bila Kafka tidak impoten, tapi ketakutan akan impoten selalu
membayangi dan mempengaruhi".
Ranicki
berpendapat; "Daya tarik Milena pada Kafka pertama kali hanyalah ingin
mencari uang pada terjemahan prosa Kafka, kemudian tertarik secara pribadi,
disamping Kafka sudah menjadi sastrawan yang dikenalnya. Kafka memerlukan
Milena bukan hanya sebagai proyek datar untuk visinya, melainkan utamanya juga
sebagai figur lawan-sebagai eksistensi tubuh yang menyejukkan dan membanggakan.
Semua pacar Kafka adalah orang Yahudi (Felice Bauer, Grete Bloch, Julie
Wohryzek, Dora Dymant), kecuali Milena non Yahudi. Juga suami Ottla yang bukan
orang Yahudi, kesemuanya ini menambah takut Kafka, sehingga dilihatnya Milena
seperti berada pada ujung dunia yang berbeda.
***
No comments:
Post a Comment