Sigit Susanto
Budi Darma menulis kumpulan cerita
berjudul Kritikus Adinan. Seperti
pada karya lain Orang-Orang Bloomington,
tokoh-tokohnya selalu berwatak aneh dan konyol seperti orang sakit jiwa.
Kritikus
Adinan sejak dari awal diceritakan kedatangan
seorang tamu. Ditekankan oleh Budi Darma, pengarangnya bahwa yang `menarik` kedatangan tamu itu pada cara
tamu itu masuk pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali.
Dari narasi `membunyikan bel` ini orang bisa jadi teringat pada novel Proses karya Franz Kafka, tokoh Josef K
di saat bangun tidur, karena lapar menunggu sarapan paginya, maka ia `membunyikan bel.` Bedanya saat bel
berbunyi itu Kafka tidak menuliskan deskripsi sebagai sesuatu yang menarik.
Sebaliknya Budi Darma menekankan dalam deskripsinya, bahwa kedatangan tamu itu
tak ada yang menarik dari ujung rambut sampai sandalnya. Yang dianggap `menarik` yakni cara tamu itu memasuki
pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali bahkan tak mau turun.
Kafka menuliskan deskripsi rekonstruksi
kamar Felice Bauer yang diacak-acak petugas pengadilan. Ketika Josef K hendak
menjelaskan secara kronologis, Felice menolak dengan mengatakan, “Aku tak
memerlukan pengantar.“
Kalau aku amati teks-teks Kafka terutama
pembuka prosanya, kebanyakan langsung menohok ke tengah kejadian. Misal, pada Metamorfosis: “Suatu pagi Gregor Samsa
bangun dari mimpi buruknya, dan ia dapati tubuhnya sudah berubah menjadi kecoak
raksasa,“ atau pada novel Proses, “Seseorang pasti telah memfitnah Josef K,
sebab pada suatu pagi ia ditangkap tanpa melakukan kejahatan.“
Kafka sepertinya
sengaja tak akan memberitahu pembaca dengan narasi. Mungkin dimaksudkan,
biarlah pembaca merasakan sendiri sensasi atau getaran kejadian dan
menyimpulkan dalam narasinya sendiri. Menurutku,
kisah-kisah pada karya Kafka cenderung seperti adegan-adegan drama yang
dinamis. Budi Darma sebaliknya, ia memakai `pengantar`…tidak
ada yang menarik pada tamu itu-…`kecuali
` caranya bertamu….
Tentu saja itu
pilihan bebas sang pengarang. Aku hanya akan membandingkan dengan budaya
Indonesia yang mungkin lebih suka memberi pengantar dalam sebuah percakapan
baru. Tradisi ini menjalar ke dalam penulisan fiksi.
Tamu itu
menunjukkan keanehan lagi, yakni tak mau turun dari atas sepeda, sambil
mengeluarkan surat perintah dari pengadilan dari belakang baju dadanya. Semakin
tampak sudah, aroma Kafka muncul, karena Josef K juga didatangi oleh pegawai
pengadilan di apartemennya.
Kritikus Adinan tak percaya, kalau surat perintah dari pengadilan itu
asli. Terjadilah dialog alot saling mengklaim keaslian surat tugas itu. Budi
Darma lihai menangkap gesture sang pembawa surat yang lama dipandangi oleh
Kritikus Adinan. Sebab pada novel Proses-nya
Kafka, setiap tokoh hampir dipastikan sedang bermain drama. Deskripsi Kafka tentang
Josef K tidak dijelaskan dalam narasi, namun dalam tingkah laku dan gesture
langsung.
Budi Darma
menemukan simbol pengadilan. Pada Proses,
simbol pengadilan juga muncul pada lukisan seorang hakim agung memakai emblem
di seragamnya. Lukisan itu menggantung di dapur pengacara bernama Huld. Josef K
sambil bercengkerama dengan Leni si pembantu advokat juga mengamati lukisan itu
dengan detil.
Jika pada Proses, petugas pengadilan mempersilakan
Josef K `bekerja`, sebaliknya pada
cerpen ini, Kritikus Adinan yang berkehendak sendiri akan berangkat `kerja.` Yang jelas niat bekerja itu tetap ada, walau dalam proses
penangkapan.
Nuansa
pengadilan yang digambarkan oleh Kritikus Adinan sangat menyerupai tempat Josef
K disidangkan. Jika Budi Darma menyebut, Kritikus Adinan sudah sampai di depan
rumah. Rumah itu tampak `kuno, besar dan
gelap.` Pada Proses, rumah itu terletak di pinggiran kota yang belum pernah
K datangi. Alamatnya di Jalan Julius.
Rumah-rumah `tinggi berwarna
abu-abu`,…`semua jendela penuh orang`. Budi Darma sebut, yang kadang-kadang
disela-sela oleh `jendela-jendela
tertutup.`
Kritikus Adinan berhenti menempelkan kupingnya
bergantian kiri dan kanan di daun pintu gedung pengadilan. Pada Proses, Josef K tidak menguping di ruang
sidang, tetapi di kamar Fraulein Büsrner, karena ketika mereka melakuan
peragaan di malam hari, keponakan induk semang apartemen mengetuk dinding
kamar, karena terganggu. Tapi Josef K dan Fraulein Bürstner hanya kaget, tak
sampai menempelkan kuping mereka ke dinding.
Kritikus Adinan sebut, sebentar untuk melihat `petunjuk` yang tertera di atas tembok. Kafka sebut, K akan
mengenali rumah yang akan dipakai untuk tempat sidang, karena ada `petunjuknya`.
Kritikus Adinan `duduk di atas kursi rotan, satu-satunya
kursi yang tersedia di situ. Kursi itu agak miring dan bertambah miring ketika
ia duduk di atasnya.` Pada Proses berbeda.
Josef berada di podium tidak duduk. Tetapi ada deskripsi saat Josef membuka
buku di ruang sidang yang kosong itu, ….`seorang
laki-laki dan perempuan duduk telanjang di sebuah kursi panjang.`
Budi Darma menggambarkan Kritikus Adinan
sering teringat ibunya, juga wejangan kesabaran dari ibunya. Juga punggung
Kritikus Adinan terasa ada yang mengilik-ilik dengan lidi dari dalam kamar.
Kedua mengingat ibu dan dikilik-kilik lidi itu tidak terdapat sama sekali pada
novel Proses.
Tentang Kritikus Adinan yang merasa
lapar kemudian ia ke `warung makan.`
Nah, sampai di sini ada kisah Josef K yang saat dalam tahanan dibelikan makanan
oleh penjaga dari `warung seberang jalan,`
karena jatah makan Josef K dihabiskan si penjaga.
Cuma Budi Darma lebih mengembangkan
dengan nuansa menu makanan yang amat jorok. Digambarkan bahwa nasinya sudah
kedaluwarsa yang hampir busuk dan dagingnya dari bangkai dan bau nanah.
Fantasi Budi Darma memang out of the box, istilah zaman now, ia
menggambarkan makanan yang serba busuk dari bangkai. Günter Grass pernah punya
deskripsi keluarga Oscar Matzerath makan belut yang ditangkap dari lubang
telinga kepala binatang yang membusuk di laut. Mohon penggemar sastra wangi,
minggir dulu. Sejatinya apa yang digambarkan Budi Darma memang tidak mewakili
kehidupan yang riil, melainkan penuh simbol.
Tapi Kafka yang dikenal suka membelok di
tikungan cerita dengan amat surealis, ia tak pernah mendeskripsikan sajian yang
menjijikkan. Samsa yang sudah menjadi kecoak saja, paling jauh disebut, bahwa
ia lebih suka keju yang basi, susu yang tidak segar, karena naluri binatangnya
lebih kuat.
Kesamaan lain Kritikus Adinan dan Josef
K sama-sama `terlambat datang` di
ruang sidang. Bedanya Josef K berargumen, meskipun terlambat toh akhirnya sudah
tiba. Sedang Kritikus Adinan menjawab, sebenarnya sudah datang satu jam
sebelumnya, cuma belum masuk ruangan karena perutnya berbunyi.
Suasana di sidang yang dibangun Budi
Darma juga mirip dengan Kafka, yaitu ada orang-orang aneh yang berkelompok
serta hadirnya pembantu pengadilan yang membantu Kritikus Adinan maupun Josef K.
Sidang harus ditunda, karena saksi belum
datang, untuk itu Kritikus Adinan disuruh pulang dan 2 jam lagi harus datang.
Sidang Josef K ditunda, bukan karena tak ada saksi, tapi plaidoyer Josef K
sendiri yang ketus dan berani, ia tinggalkan sendiri sidang yang aneh itu.
Satu kebiasaan yang disebut
berulang-ulang untuk sosok Kritikus Adinan ini adalah bahwa ia sebagai orang
yang tidak mau berbuat ramai-ramai. Ia sangat taat wejangan almarhum ibunya.
Pada Josef K memang mirip sosok Kafka sendiri yang melankolis, namun dalam
berbagai interaksinya Josef K seorang yang sangat pemberani dan ketus.
Barangkali Budi Darma memotret Kritikus
Adinan dari sosok Kafka yang sesungguhnya. Sebab Gustav Janouch, sahabat Kafka
menuliskan dalam bukunya Percakapan
dengan Kafka (Gespräch mit Kafka), memang Kafka lebih digambarkan sebagai
orang yang mengalah, tidak mau ramai-ramai dan tidak seberani sosok Josef K.
Ada lagi pernyataan pemilik warung yang
identik dengan Proses. Pemilik warung
bilang, orang-orang yang dipanggil ke pengadilan adalah orang-orang yang jujur.
Pada Proses disebutkan, bahwa
biasanya para terdakwa itu sangat perasa dan mudah tersinggung.
Latar yang dibangun Budi Darma
sepertinya berada di Indonesia, karena digambarkan di bawah terik matahari dan
suara cecak sering diceritakan sebagai mitos. Sebab Kafka sering menggambarkan
lanskap alam di musim dingin yang mencekam atau kabut tebal. Juga cecak sangat
jarang atau bahkan tak ada di rumah-rumah orang Eropa.
Ketika Kritikus Adinan makan di warung,
pembantu pengadilan datang tak lupa membunyikan bel sepeda lagi, guna mengantar
surat panggilan untuk sidang yang sempat tertunda.
Pada sidang terjadi dialog konyol
mempermasalahkan status Adinan yang dijuluki orang sebagai kritikus. Adinan
sendiri tak tahu, tapi ia pastikan bahwa ia sering menulis kritik, sebab itu
baik orang yang pernah baca kritiknya maupun yang belum baca memberi julukan
Kritikus Adinan. Perguncingan nalar status `kritik`
ini memang cukup kritis.
Sidang dinyatakan ditunda sampai lusa. Di sini peran pembantu tampak dominan dalam sidang. Pada
Proses, peran istri pembantu yang
lebih menyolok dan lebih personal.
Di saat Kritikus
Adinan keluar dari ruang sidang itu, pembantu menggebrakkan daun pintu dengan
kasar. Sebaliknya pada Proses, justru
Josef K sendiri yang mengumpat ke hakim pemerika, kalian gombal.
Ketika Kritikus
Adinan keluar dari ruang sidang, ia melangkah masuk ke arah kanan dan menemukan
seorang perempuan bernama Rohani. Perempuan itu merasa kesepian sehingga, ia
meminta Kritikus Adinan duduk di sampingnya. Nyaris, suasananya mirip pada Proses, ketika Josef K masuk ruang
sidang yang pertama, ternyata kosong dan bertemu dengan istri pembantu
pengadilan. Pembantu pengadilan itu membeberkan cerita penting, bahwa hakim
pemeriksa sering lembur menulis berita acara. Sering kali hakim pemeriksa
meminjam lampu dari tempat tidur pembantu pengadilan. Dan pembantu pengadilan
itu kemudian meminta Josef untuk duduk di sebelahnya.
Yang membedakan,
bahwa ruang sidang ala Budi Darma adalah satu bangunan loteng yang ditempati
warga, termasuk perempuan bernama Rohani ini, sedang pada Proses, bahwa ruang tamu pembantu pengadilan itulah yang dipakai
ruang sidang, hanya memindahkan perabotnya. Jika tak ada sidang, perabot dikembalikan layaknya
ruang tamu keluarga.
Lagi-lagi Budi
Darma memakai estetika jorok dalam menggambarkan sosok perempuan bernama Rohani
ini. Ia yang kulitnya hitam, `tubuhnya berpunuk,`
mirip leher sapi, giginya besar-besar dan kuning dan masih ditambah bau
mulutnya seperti bau bangkai tikus.
Khusus `tubuh perempuan berpunuk` ini ada tokoh
yang mirip dalam Proses, yakni salah
satu murid yang suka melukis dari pelukis nyentrik Titorelli. Memang `gadis berpunuk` itu sering mengganggu
Josef K.
Sampai di sini
peristiwa yang nuansanya mirip dengan Proses
berakhir. Selanjutnya fantasi liar Budi Darma sendiri yang tak ada kaitan
dengan Proses.
Tokoh Kritikus
Adinan mulai mendengarkan wangsit dari langit, supaya dirinya pulang. Sesampai
di rumah ia kembali melanjutkan menulis. Digambarkan bahwa sosok Kritikus
Adinan tak pernah keluar rumah setelah matahari terbenam. Ia anak yang taat
perintah ibunya.
Di rumah ia membaca
setumpuk surat dan ada 3 surat penting. Pertama, ia mendapat tawaran pergi ke
luar negeri, untuk pengobatan bisulnya yang sudah akut. Kedua, ada tawaran dari
orang lain untuk menggantikan posisinya, jika dirinya harus mendekam di penjara.
Ketiga, tawaran dari penerbit untuk menerbitkan naskahnya.
Di tengah
kantuknya ia sembarangan saja mengambil sebuah buku dari belakang bantalnya. Ia
buka sesukanya saja, terbuka di halaman terjemahan puisi karya Coleridge.
Disebutkan pada halaman itu, Kubla Khan memerintahkan rakyatnya untuk membuat
istana dengan atap bulat. Istana itu harus di
pinggir kali yang mengalir ke laut. Istana itu harus megah dan dibentengi
tembok melingkar pada sebuah tanah tinggi yang subur.
Usai membaca itu seolah Ibunya hadir di
benaknya menyanyikan lagu Bukit Abora. Ia berangan akan membangunkan istana
beratap bulat di langit sana seperti dalam puisi terjemahan itu.
Kegiatan Kritikus Adinan sekarang
menulis cerita. Ia menghadirkan tokoh bernama Pinto dan orang tua.
Dialog-dialognya seperti di hutan tempat Zarathustra Nietzsche. Pinto kesasar
di tengah hutan dan minta petunjuk orang tua untuk berjalan ke kiri atau ke
kanan. Orang tua itu menyarankan mengambil jalan ke kanan. Di tengah hutan,
justru semakin jauh untuk keluar. Ada bisikan dari atas pohon dan Pinto disuruh
kembali lagi dan ambil arah kiri.
Cerita berganti, seolah ibunya datang
menari dengan rebab tentang Bukit Abora. Terjadi percakapan antara Kritikus
Adinan dan ibunya. Tentang harapan sang anak ingin membangun istana beratap bulat
di langit lewat nyanyian ibunya. Kemudian tentang anak kecil yang sengsara dan
tiba-tiba menjadi raja.
Cerpen berjudul Kritikus Adinan ini ditutup dengan datangnya seorang pemilik
penerbitan, seorang laki-laki berpakaian necis. Orang dari penerbit itu
mengajak Kritikus Adinan sambil menyambar naskahnya yang buruk untuk menengok
kantor penerbit yang menjulang megah.
Zug, Switzerland: 28
September 2018
No comments:
Post a Comment