Saturday, July 4, 2020

Binatang Kafka di Bungker (sebuah ringkasan)

Judul: Der Bau (Bungker)
Oleh: Sigit Susanto

Di bawah sofa adalah tempat paling nyaman yang dipilih Gregor Samsa. Dari lorong gelap itu ia bisa bebas bergerak dan mengamati siapa saja. Fantasi ruang gelap Kafka berlanjut pada saat ia tinggal di Berlin bersama Dora Diamant selama 11 bulan dengan karyanya berjudul Bungker (Der Bau).

Pada prosa panjang sebanyak 43 halaman ini Kafka memakai bentuk Aku-Pencerita. Secara jumlah halaman dan bentuk mirip monolog-interior mahapanjang sekitar 40-an halaman dalam Ulysses karya James Joyce, yang tak terdapat koma sama sekali, hanya ada dua titik. Sebuah igauan tokoh Ibu Molly Bloom tergeletak di ranjang, sambil membayangkan pacarnya Boylan, sementara suaminya sendiri Leopold Bloom berbaring di sebelahnya.

Jika Joyce dalam menutup novel Ulysses memakai igauan kehidupan sehari-hari yang dikenal dengan stream of consciousness, Kafka menutup hidupnya memakai ego tertinggi tokoh Aku mengeksplorasi tenaga dan pikirannya di sebuah lubang gelap di bawah tanah. Keterpurukan Kafka di Berlin karena frustrasi akan penyakitnya dan faktor finansial membuatnya seolah ia sedang hidup di sebuah ruangan gelap bernama Bungker.

Kenapa Bungker? Ada interpretasi, saat Kafka berada di Praha, ia menyaksikan sendiri pembuatan Bungker, untuk mengantisipasi Perang Dunia I.

Tokoh Aku membuat sebuah Bungker yang cukup nyaman dan dari luar hanya terlihat sebuah lubang besar. Di dalam Bungker tersebut sudah tumbuh gumpalan lumut tebal. Tokoh Aku merasa bisa mati, jika terus-menerus terdengar suara gaduh yang tak bisa tenang. Tokoh Aku sudah merasa hidup damai sebetulnya, namun kadang ada orang entah dari arah mana melakukan pengeboran. Ia maling yang hendak merangsek dan menjadi korban. Tokoh Aku semakin tua renta untuk melarikan diri dari kejaran musuh lewat pintu yang terbuka.

Tokoh aku yakin pasti ada makhluk yang berada di dalam tanah yang tak bisa mengenalkan dirinya dan tokoh Aku juga belum pernah melihatnya. Garukan cakar makhluk itu bisa kedengaran, ia bukan hendak menolongku, malah bisa menyerangku. Namun tanpa keberadaan dia, aku tak bisa hidup.

Lewat sebuah jalan besar itu aku bisa menuju ke dunia luar dengan pintu yang sangat sempit, namun tampaknya tak berbahaya. Aku menghirup udara, tikus dinding menjadi penghuni di Bungkerku. Adapun yang terindah dari Bungkerku ini adalah modelnya. Model yang suatu kali bisa menipu secara tiba-tiba dan terus-menerus dan semua peristiwa itu berakhir.  Kadang terdengar suara desiran binatang kecil, gigi-gigiku yang bisa menenangkan atau tanah berhamburan.  Pada usia yang semakin menua, sangat lah indah memiliki sebuah Bungker seperti ini, berada di bawah atap di saat permulaan musim gugur.

Di sini Kafka seperti sengaja menaruh musim gugur, seperti saat ia berada di Berlin mengalami kesulitan hidup dan menderita karena penyakitnya pada musim gugur tahun 1923.

Secara jarak dalam Bungker itu, di setiap 100 meter terdapat lorong menuju tempat yang melingkar. Di tempat itu cocok untukku berguling-guling untuk beristirahat dengan hangat. Di situ lah aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku tak tahu apakah kebiasaan ini berasal dari zaman lampau atau apakah rumah ini cukup kuat tak berbahaya.  Dari waktu ke waktu saat aku tidur nyenyak, ketakutan.

Aku berbaring pada tempat yang aman, ada lebih dari 50 tempat seperti itu di Bungkerku. Tempatku ini seperti sebuah kastil. Suatu kali ketika tubuhku capek aku biarkan keluar dan Bungkernya terbuka. Tanahnya longgar dan berpasir membuat formasi bundar. Aku hanya punya dahi dan dengan memakai dahiku itu aku bisa ribuan siang dan malam menabrakkan ke tanah dan yang terbaik bila bisa berdarah-darah.

Di tempat kastil ini aku menyimpan perbekalan yang aku anggap perlu mengambil dari luar. Aku jarang tergesa-gesa di dalam Bungker, tetapi aku terganggu jika harus kembali ke tempatku semula.  Dalam keadaan kecapekan bisa langsung tertidur, itu sebuah impian pekerjaan malam semacam tikus yang terjepit di gigi-gigi.

Aku tidak bisa berlari dengan cara zig-zag. Dulu aku bilang kepada musuh-musuhku yang tak kelihatan, ini lah pintu masuk ke rumahku. Dulu ketika aku mulai membangun Bungker ini, aku tak bisa bekerja dengan tenang. Risikonya memang tak besar, namun pada akhirnya efek dari Bungker ini banyak mendapat perhatian. Dan jika suatu saat ada yang menyerangnya, apakah pintu itu bisa menyelamatkan diriku?  Jika serangan terjadi maka aku harus mengerahkan semua peralatan yang kumiliki untuk melindungi jiwa dan ragaku.

Ruangan Bungker itu seperti labirin dan apakah aku dalam kebebasan, juga tidak. Aku tak akan mencari lorong-lorong itu, melainkan membuka hutan. Aku berada di bawah dinding yang berlumut basah. Aku mencari sebuah tempat sembunyi yang nyaman untuk mengamati pintu masuk Bungkerku.

Kadang muncul mimpi kekanak-kanakan; apakah aman melakukan pengintaian? Jika aku keluar menghadapi musuh-musuhku. Aku akan tinggalkan kegiatan mengamati yang lain dan aku sudah muak dengan hidup bebas. Seandainya aku punya seorang yang bisa aku percaya, aku akan memasang tempat untuk mengamati dan dengan dia bisa memantau jika bahaya datang, dengan mengetuk atap lumut. Atau seandainya ada sebuah meja dibuat untukku atau diberikan orang kepercayaanku. Meja itu dibuat untukku, bukan untuk pengunjung.

Seandainya ada dua pintu yang saling berhubungan, aku bisa masuk ke pintu pertama dan segera mulai ke pintu kedua. Aku mulai bermimpi sebuah Bungker yang lengkap. Orang tak hanya melihat sebuah rongga yang menjamin keamanan, tetapi jika terjadi bahaya, aku akan mengigit gigi keras-keras, karena Bungker itu tak bedanya dari tempat penyelamatan hidupku.

Bungker itu bagiku sebagai campuran antara kerja yang mengerikan dan tempat keselamatan, setidaknya itu menurutku. Bungker itu bukan hanya sebagai lubang penyelamat, jika aku berada di tempat kastil, menatap di sekeliling terdapat persediaan daging yang bisa dibawa ke sepuluh lorong.

Kenapa aku grogi dan takut, kemungkinannya aku tak akan menjumpai lagi Bungker ini. Jika sial atau ada kerusakan, maka aku akan amati dulu dan perbaiki Bungker itu. Aku mulai di lorong kedua, dan bila sudah sampai pada tempat kastil maka aku punya waktu yang tak terbatas.

Lorongmu dan tempatmu, jika aku sudah sampai di tempat kastil, hidupku yang lama sekali bodoh itu, aku akan menggigil. Di sini aku tak akan tidur, tetapi aku akan mengatur supaya bisa dipakai tidur, tidur dengan sangat nyenyak. Aku akui telah tidur lama sekali, hingga dibangunkan, tetapi orang perlu tidur lama.

Aku harus berlatih dengan intensif mengamati keterkaitan saluran udara di Bungker dengan galian yang lain. Galian yang besar itu juga akan menghasilkan getaran besar pula. Aku tak sampai pada tempat yang mengeluarkan suara gaduh. Suara gaduh itu teratur berbunyi tapi tak hilang. Namun hanya memakai alat bor kecil, suara gemuruh itu lenyap. Sebab itu aku lebih suka terus merangsek lewat lorong-lorong. Semakin banyak waktu terbuang untukku sebagai rakyat kecil, seharusnya justru telingaku yang harus berlatih mendengarkan suara bising itu. Hanya telingaku yang semakin sensitif menangkap suara bising itu, namun di mana terdengar suara bising itu lagi.

Aku kali ini tak mengamati dinding di tempat kastil, sepertinya ada berita basi yang mendesak, binatang-binatang itu benar-benar datang dengan kekuatan besar. Salah satu rencana paling indah dariku adalah membongkar Bungker dari bawah tanah ini. Setelah itu dindingnya disesuaikan setinggi tubuhku. Di Bungker itu dilengkapi jalan melingkar tempat kastil hingga ruangan pada sisi fundamennya.

Kepekaan telingaku semakin terganggu mungkin karena Bungker itu menjadi besar di tahun ini. Namun jika makhluknya kecil yang tak mendengar apa-apa. Mungkin itu hanya bayanganku yang tertuju pada binatang kecil yang aku tak pernah melihatnya. Padahal aku sudah cukup lama mengamati dan tinggal di bawah Bungker ini. Tetapi dunia memang berjenis-jenis dan tak pernah tahu datangnya sebuah kejutan. Tetapi itu tak berlaku bagi setiap binatang, bisa jadi sekawanan binatang yang tiba-tiba terperosok ke dalam lingkunganku. Sekawanan binatang kecil yang mudah didengarnya. Bisa jadi itu binatang yang belum dikenal. Semacam sekawanan binatang yang sedang mengungsi pada kesempatan terpaksa dan menggangguku. Namun jika mereka itu binatang yang belum dikenal, kenapa aku tak melihatnya. Padahal aku sudah membuat banyak sekali galian, supaya bisa menangkap mereka, tapi tak satu pun bisa kutangkap. Mungkin itu binatang-binatang yang kecil saja, yang jauh lebih kecil dari yang aku kenal dan hanya membuat suara gaduh yang lebih besar. Sebab itu aku menyelidiki di beberapa galian tanah, aku lempar gumpalan ke atas, itu lah bagian terkecil yang sudah terkoyak-koyak. Toh serpihan binatang kecil itu bukan yang menghasilkan suara gaduh.

Aku sekarang akan mengubah rencana, yakni langsung menggali lubang yang lebih besar dan mengarahkan ke sumber suara gaduh itu. Sementara aku abaikan semua teori, yang paling utama adalah menemukan suara gaduh itu. Mengamati artinya beberapa jam mengamati dengan mendengarkan secara intensif, dan mencatatnya dengan sabar, bukan berjam-jam menempelkan telinga di dinding.

Dengan mata terpejam aku harus marah dengan diriku sendiri dan menggigil seperti waktu sebelumnya, ketika aku sudah tak paham lagi. Rencana baruku yang masuk akal itu menjeratku dan tak juga terpuruk. Rencana itu, setidaknya aku tahu tak menghalangi, yang utama rencana itu harus mencapai tujuan. Adapun suara gaduh itu memang sudah menjadi risiko sebuah galian, karena aku tak mempercayainya.

Paling tidak aku harus mengatasi kerusakan-kerusakan yang terjadi dari pekerjaanku membuat Bungker. Pekerjaan itu memakan banyak waktu dan galian baru itu harusnya sampai tujuannya, karena memerlukan waktu lama, maka jangan sampai sia-sia.

Aku bisa saja menghentikan pembangunan Bungker itu, kemudian pulang ke rumah dan jika tak melakukannya, udara di tempat kastil tak akan terjangkau. Tapi kali ini sangatlah sulit, aku sendiri terpuruk, selalu saja saat berada di tengah pekerjaan, aku tempelkan telingaku di dinding, lagi-lagi tak terdengar suara tanah yang berhamburan.

Jika aku datang dan semakin tercipta rasa damai, maka semua sudah beres. Dalam sebuah dongeng, semuanya akan melayang, karena memang dongeng termasuk kategori menghibur. Lebih baik sekarang langsung dikerjakan saja, daripada terhenti, lebih baik berlanjut, menyusuri lorong-lorong dan memastikan tempat-tempat yang menghasilkan suara gaduh. Kadang aku dengarkan, suara itu terhenti cukup lama, kadang berdesis, cocok dengan darahnya di telinga, perlahan suara berdesis itu lenyap.  Sudah tak bisa dengarkan lagi, melompat, sepanjang hidupnya membuat sebuah lingkaran dan menjadi sumber yang umum.

Tiba-tiba aku tak mengerti lagi dengan rencanaku semula, aku tak bisa menemukan lagi pemahaman itu dulu, aku tinggalkan saja pekerjaan itu dan membiarkan suara gaduh itu, aku sekarang tak akan melanjutkan lagi pencarian, karena aku sudah cukup banyak menemukan, aku biarkan semuanya, aku sudah bahagia, jika tidak aku hanya berkecamuk dengan diri sendiri. Aku mulai menjauh dari lorong-lorong itu, sejak aku pulang dan belum melihatnya.

Sejauh ini aku kesasar, hingga sampai pada labirin, tempat itu yang menyesatkan diriku pada langit-langit yang berlumut. Atas kejadian ini membuat daya tarikku pudar. Aku akhirnya naik dan mendengarkan, benar-benar tenang dan tak ada orang yang mengurus Bungkerku. Tiap orang sibuk dan tak ada yang memperhatikanku, bagaimana aku harus memperkerjakan.

Di sini di langit-langit berlumut mungkin merupakan satu-satunya tempatku, aku bisa berjam-jam memaklumi untuk mendengarkan. Dan suara berisik itu didengar dari mana-mana dan selalu kerasnya sama, baik siang maupun malam. Tentu saja pasti dikira itu banyak suara binatang kecil, aku sendiri yang membuat galian harus aku temukan binatang-binatang kecil itu, tetapi tak berhasil kutemukan.  Keberadaannya seperti binatang-binatang besar, tapi yang muncul binatang-binatang kecil.

Aku tak mau tertipu, karena sudah lama aku hanya bermain dengan lamunan, sehingga jauh dari niat mendengarkan. Peristiwanya mirip seorang pejalan yang menyusuri lorong bebas, buminya bergetar pada galian itu.

Sekarang suara gaduh itu semakin keras pada wilayah yang sempit. Aku banyak memikirkan jenis suara-suara gaduh itu, suara berdesis atau bunyi peluit. Namun jika aku menggaruk tanah, suaranya jadi berbeda. Begitu lah aku hanya bisa menjelaskan tentang suara berdesis itu, bahwa peralatan terbesar yang dipakai binatang-binatang itu bukan cakar mereka, karena cakar itu mungkin hanya dipakai saat dibutuhkan bantuan, melainkan mereka memakai moncongnya, atau telalainya. Ketika telalai itu ditekankan ke tanah dan merobohkan segumpal tanah, aku tak mendengarkan sama sekali.

Bagaimana aku begitu lama bahagia dan tenang? Siapa yang menghindari musuh, musuh yang melingkari kepemilikanku. Aku berharap sebagai pemilik Bungker yang punya kekuasaan terhadap setiap pendatang.

Perbedaan yang sangat mencolok adalah saat awal-awal berdirinya membuat Bungker. Awalnya aku hanya sebagai pembelajar kecil yang membuat lorong pertama. Lorong labirin pertama itu sangat acak-acakan di tempat kecil. Dalam hidupku ini selalu banyak istirahat saat bekerja, di dalam tumpukan galian tanah itu, tiba-tiba suara berdesah itu menjauh. Muda seperti aku sendiri, sehingga aku lebih penasaran daripada takut.

Aku penasaran, santai dan tenang. Mungkin aku berada di Bungker asing, pikirku. Dan pemilik Bungker itu menyeret aku kemari. Tetapi memang aku masih muda dan tak punya Bungker, dan aku bisa santai dan tenang.
                                           
Dan aku berjalan menuju jalan panjang untuk kembali ke Bungker. Aku menggeleng-gelengkan kepala, aku tak punya. Aku juga tak akan datang ke tempat kastil, seperti yang sudah direncanakan. Aku akan menuju tempat penelitian. Aku akan mencari rencana penguraian tentang binatang itu. Tetapi aku paham jenis binatang itu tak ada. Mungkin saja binatang-binatang itu menggali di Bungkernya sendiri. Jika binatang itu termasuk yang spesial, mungkin akan membuat Bungker dekat dan bertetangga dengan Bungkerku. Setidaknya di Bungkerku tak ada suara gaduh lagi.

Setidaknya saat pembuatan Bungker itu sering terdengar suara geduh yang tak berubah.

Sampai di sini rangkuman karya berjudul Bunger ini selesai. Menurut beberapa sumber, karya ini tidak utuh, halaman terakhir hilang dan Dora Diamant dianggap yang menghilangkan. Apakah secara sengaja atau tidak, kurang tahu.

Ada analisis bahwa binatang itu juga sosok Kafka sendiri, adapun suara-suara gaduh itu bukan dari luar Bungker, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri yang saat itu menderita sakit TBC.
***

Ilustrasi oleh Neni Fajariah

No comments:

Post a Comment