Thursday, June 18, 2020

Surat Franz Kafka Kepada Oskar

Diterjemahkan oleh: Sigit Susanto

Sebuah buku harus seperti kapak untuk membelah lautan beku dalam diri kita.
(27 Januari 1904)

Oskar yang budiman!

Kamu telah mengirim aku sebuah surat tentang cinta: yang mungkin langsung dibalas atau sama sekali tak akan dibalas, dan sekarang 14 hari telah berlalu, tanpa aku membalas ke kamu, tentu saja itu tak bisa dimaafkan, namun aku punya alasan. Pertama aku akan merenungkan dengan baik untuk membalas surat kepada kamu, karena bagiku jawaban surat ini nanti lebih penting dari surat lain untukmu – (sayangnya tak terjadi); dan alasan kedua, karena aku telah membaca buku harian dari Hebbel (1800 halaman) di dalam kereta api, sebab dulu aku hanya menonton beberapa drama pendek dari Hebbel, yang tak kusukai. Meskipun begitu aku memulai dari awal lagi yang terkait dengan seluruh permainannya, hingga aku punya keberanian seperti seorang penghuni gua, yang pertama sebuah lelucon dan terhimpit di batu-batu sebuah gua, namun batu-batu gua itu menjadikan gelap yang terisolasi dari udara, kekusaman itu mencuat dan timbul rasa aneh untuk menggeser batunya. Tapi sekarang daya tegangnya 10 kali lebih, sebelum pijar dan udara datang lagi. Aku tak membawa pena di tangan ketika hari ini orang meratapi sebuah kehidupan, yang tanpa celah lagi dan menanjak lebih tinggi lagi, tinggi sehingga orang jarang mampu menjangkau dengan lensa jarak jauh, tentu saja tak akan menenangkan. Tapi itu bagus, jika orang mendapatkan luka menganga, sehingga akan menjadi perasa pada setiap gigitan. Aku percaya, orang harus membaca buku sejenis seperti itu yang bisa menggigit dan menyusup. Jika sebuah buku yang kita baca tak membangkitkan pukulan tajam kepada sandaran kita, untuk apa buku jenis itu dibaca? Hanya kerana agar bisa merasa bahagia seperti yang kamu tulis? Ya. Tuhan, kebahagiaan itu juga ada walaupun kita tak punya buku dan buku yang bisa membuat kita bahagia bisa ditulis secara mendadak saja. Tapi kita perlu buku-buku yang membangkitkan kita sebuah rasa tidak bahagia, yang menyayat kita, yang seperti sebuah kematian terhadap orang lain yang lebih kita cintai dari pada diri sendiri, seperti orang yang terlempar ke belantara, enyah dari keramaian manusia, mirip bunuh diri, sebuah buku harus seperti kapak yang membelah kebekuan lautan pada diri kita. Itu yang kupikirkan.

Tapi kamu toh bahagia, suratmu formal sekali, kupikir kamu dulu memaknai dengan buruk terhadap ketidakbahagiaan, padahal itu alami adanya, di bawah keteduhan tak ada cahaya. Namun aku ikut bersalah di dalam kebahagiaanmu, kamu pikir tidak. Paling tidak: seorang yang bijak, akan menularkan kebijakannya yang dimiliki yang datangnya bersama dengan ketololan dan akan berputar sendiri, tapi tampaknya masalahnya akan menjauh. Sekarang pembicaraan sudah selesai dan ketololan itu akan pulang ke rumah, kan ia tinggalnya di pagupon merpati. Untuknya apa yang menempel di leher, tercium dan teriak: terima kasih, terima kasih, terima kasih, kenapa? Ketololan dari yang tolol begitu besar dari yang ditunjukkan daripada kebijakan yang bijak.

Begitulah dariku, sepertinya aku melakukan dengan tidak adil kepadamu dan aku harus minta maaf. Tapi aku tahu tak ada ketidakadilan.

Frans Kamu

No comments:

Post a Comment