Oleh: Sigit Susanto
Aku memiliki binatang piaraan pribadi, separuh kucing, separuh anak
kambing, binatang itu warisan yang dimiliki ayah. Binatang tersebut berkembang
pada masa hidupku. Awalnya binatang itu lebih seperti seekor anak kambing,
daripada seekor kucing, akan tetapi sekarang perkembangannya seimbang. Kepala
dan cakarnya dari kucing, sedang postur dan besarnya mirip anak kambing.
Kedua matanya sayu dan berkerlap-kerlip. Bulu rambutnya halus dan serasi,
gerakannya lebih senang berjingkrak-jingkrak daripada merayap, pada waktu
matahari bersinar ia di bilik jendela rebahan melingkar dan mendengkur, kalau
di rerumputan ia berjalan dengan gagah dan sulit ditangkap, jika berhadapan
dengan kucing, ia kabur, jika bertemu anak kambing ia bangkit, pada waktu
rembulan malam tiba ia paling suka berada di rak atap, ia tak bisa berbunyi
Meong, di depan tikus pun ia jijik, di dekat kandang ayam ia bisa bersembunyi
berjam-jam, ia memang toh tak pernah memanfaatkan kesempatan untuk bunuh diri,
aku dekati untuk memberi susu manis, ia mendapatkan susu terbaik, dengan tubuh
panjangnya ia mengisap lewat gigi-gigi runcing binatang pemakan daging. Tentu
saja binatang itu sebagai tontonan menghebohkan buat anak-anak.
Minggu pagi adalah jam-jam berkunjung, aku taruh binatang itu di pangkuanku,
anak-anak tetangga berdiri mengelilingiku. Di situ banyak mencuat
pertanyaan-pertanyaan hebat, tak seorang pun mampu menjawabnya. Aku gak
pedulikan, aku merasa puas saja tanpa penjelasan selanjutnya, aku jawab
semampunya. Kadang-kadang anak-anak membawa kucing, pernah sekali ada yang
datang membawa dua ekor anak kambing, tetapi harapan anak-anak itu pupus karena
binatangnya tak saling mengenal, binatang-binatang itu matanya saling melotot
satu sama yang lain dengan tenang, padahal sebetulnya mereka itu juga makhluk
ciptaan Tuhan.
Di pangkuanku binatang itu tak takut juga tak manja, merasa senang saja
tergeletak di pangkuan. Ia kan termasuk tumbuh bersama dalam keluarga. Ia sudah
krasan, bukan saja tak loyal, melainkan punya sebuah insting seekor binatang yang
tajam, yang di bumi ini sudah punya saudara ipar yang tak terhitung jumlahnya,
meskipun tak ada satu-satunya yang berhubungan darah, dan oleh sebab itu
melindungi binatang ini di tempat kami sangat lah tepat. Kadang aku harus
tertawa, kalau dia mengendus-ngendus aku, melilit di antara paha dan
benar-benar tak mau pisah dariku. Tak cukup sepertinya, bahwa ia seekor anak
kambing dan kucing, inginnya menjadi seekor anjing lagi. Pemikiran sejenis itu aku bayangkan secara
serius. Binatang itu punya dualisme yang tak tenang, baik dari sisi kucing
maupun anak kambing, yang memang keduanya saling berbeda jenis. Oleh karena itu
bulu rambutnya sangat rapat. Mungkin binatang itu perlu pisau daging untuk
membereskannya, tetapi aku harus menolaknya, karena binatang itu sebagai sebuah
warisan.
***
No comments:
Post a Comment