Komentar:
Di antara banyak cerpen Kafka, cerpen berjudul Di Depan
Hukum (Vor Dem Gesetz) menurut saya yang paling membekas di ingatan. Lagi-lagi
saya dibuat terkecoh dengan keberanian Kafka bermain dengan khayalannya. Pada
cerpen ini Kafka menampilkan tokoh yang rapuh lagi. Hanya saja berbeda
posisinya. Kalau pada Metamorfosis tokoh Samsa sebagai pelaku bisnis, pada
cerpen ini tokohnya seorang yang lugu dari desa. Orang desa yang berciri
sederhana dan patuh itu akan berurusan dengan hukum dan masuk gedung
pengadilan. Di pintu masuk dihadang oleh seorang penjaga. Lalu ada sebuah
dialog yang sangat brilian.
Penjaga tersebut bilang, “Jika kamu akan mencobanya,
mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan
saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain
telah dijaga oleh penjaga pintu, satu dengan yang lain makin tinggi
kekuasaannya. Bahkan saya tidak bisa menanggung pada pintu ke tiga."
Orang desa itu akhirnya termangu ragu dan taat pada
peraturan seperti yang diucapkan oleh penjaga pintu. Sekarang terjadi peristiwa
yang luar biasa. Kafka nekat lagi membuat cerita bila orang desa itu patuh
menunggu di depan pintu tak hanya dalam hitungan jam atau hari, tapi
bertahun-tahun. Sampai di sini saya terpana.
Kafka mencoba melompat ke imajinasi surealis. Mungkinkah
dalam realitas sehari-hari orang desa itu duduk di dingklik depan pintu
pengadilan sampai bertahun-tahun? Jawabnya, ya dan tidak. Ya, bisa dibuktikan
dari berbagai kasus pengadilan yang umumnya memakan waktu sampai bertahun-tahun.
Tidak, bilamana orang desa itu terus menerus berdiri di depan pintu pengadilan
sampai bertahun-tahun. Namun mengapresiasi karya sastra akan sia-sia kalau
hanya berpedoman dengan logika riil. Lompatan ”menunggu bertahun-tahun” jelas
Kafka menyodorkan sebuah arti simbolis. Pada sisi lain Kafka mungkin akan
mengajak berpikir panjang. Bukankah orang yang bertipe sopan, baik, patuh,
sederhana, dan lugu itu harus mendapat perlakuan yang setimpal? Dalam realitas
keseharian, sering kali mendapat perlakuan yang sebaliknya. Atau justru dengan
kepolosannya, ketaatannya, kesopanannya, sering menjadi korban peradaban dalam
masyarakat. Kafka sesungguhnya sedang menyodorkan potret manusia lemah yang
nasibnya tak kunjung berubah, manakala manusia itu tak berani membuat perubahan
besar. Saya jadi ingat Max Weber yang pernah bilang; barangsiapa berpikiran,
bila A akan selalu menjadi A, B akan menjadi B, maka pikiran seperti itu ibarat
politik anak kecil. Kenyataannya apa yang dikatakan A bisa berubah menjadi B atau
sebaliknya. Kafka di sini telah mencoba menjungkirbalikkan tatanan yang pada
kultur timur dipercaya sebagai ”Karmapala.”
Terakhir ada kalimat yang filosofis diucapkan oleh
penjaga pintu: “Tak ada orang lain dapat izin masuk ke sini, karena pintu ini
dimaksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan tutup pintunya.”
Kalimat penutup di atas cukup kritis. Begitu penjaga
melihat kondisi orang desa makin bungkuk dan pendengarannya sudah mulai
menurun. Singkatnya ajal sudah menunggu, sementara warga lain sudah selesai
dengan urusan pengadilan. Logisnya memang pintu harus ditutup, karena tinggal
seorang saja, apalagi orang yang akan masuk itu sudah menjelang ajal.
Agar komentar saya tidak menyaingi panjangnya cerpen,
maka saya akhiri di sini. (SS)
Di Depan Hukum (Vor dem Gesetz)
Di depan hukum berdiri seorang penjaga pintu. Seorang
dari desa datang menemui penjaga pintu dan minta izin untuk menghadap hukum.
Tapi penjaga pintu tersebut menolaknya untuk memberi izin masuk sekarang. Orang
desa itu menanyakan, apakah dirinya nanti bisa masuk. "Itu mungkin, tapi
tidak sekarang," jawab penjaga pintu. Ketika pintu pengadilan itu terbuka
seperti biasanya dan penjaga pintu menepi, orang desa itu telah melihat ke
ruang dalam pengadilan. Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan
berkata, "Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun
dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling
rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah dijaga oleh penjaga pintu, satu
dengan yang lain makin tinggi kekuasaannya. Bahkan saya tidak bisa menanggung
pada pintu ke tiga." Orang desa itu tak mengharapkan kesulitan. Hukum
harus berlaku adil kepada semua manusia, dia pikir. Tapi dia sekarang lebih
memperhatikan penjaga pintu yang mengenakan jaket besar berbulu, berhidung
mancung dan berjenggot panjang serta tipis. Dia masih optimis untuk dapat izin
masuk. Penjaga pintu memberi bangku kecil sambil mempersilakan untuk duduk
dekat pintu. Dia duduk berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Dia mencoba minta
izin masuk, namun ditolak oleh penjaga pintu. Bahkan penjaga pintu bertanya
pada orang desa itu tentang keluarganya dan berbincang banyak hal, namun
pertanyaannya membosankan. Penjaga pintu berlagak seperti tuan besar, akhirnya
dia tetap berkata lagi, bahwa orang desa itu belum boleh masuk. Orang desa itu
membawa banyak perbekalan berharga dalam perjalanannya, dengan mudah untuk
menyuap penjaga pintu. Akan tetapi penjaga pintu berkata, "Saya hanya
menerimanya, sehingga kamu jangan berpikir, kamu telah semena-mena pada
semuanya." Setelah lewat bertahun-tahun, orang desa itu memperhatikan
penjaga pintu terus menerus. Dia lupa pada penjaga pintu yang lain dan penjaga
pintu pertama ini hanya merupakan halangan untuk menghadap hukum. Dia mengutuk
nasib buruknya, pada tahun-tahun awal dan dengan penuh kehati-hatian, setelah
dia makin tua, dia sering menggerutu pada dirinya sendiri. Dia menjadi
kekanak-kanakan dan selama pengamatannya pada penjaga pintu, dia mulai tahu ada
kutu pada jaket bulunya. Dia harapkan agar kutu itu membantunya untuk merubah
sikap penjaga pintu. Akhirnya, pandangannya makin kabur, dan dia tidak tahu
lagi, bila hari makin gelap atau bila matanya telah menipu dirinya. Tapi dia
makin sadar, betapa sulitnya mengurus hukum. Dia tak bertahan hidup lebih lama
lagi. Sebelum dia mati, seluruh pengalamannya dikumpulkan dalam benaknya untuk
menemukan sebuah pertanyaan, yang dia sendiri belum tanyakan kepada penjaga
pintu. Dia memanggil penjaga pintu, sementara dia sendiri tak bisa mengangkat
tubuhnya yang kaku. Penjaga pintu harus membungkukkan begitu rendah, karena
ketinggian antara keduanya telah berubah, banyak yang menyengsarakan orang desa
itu. "Kamu masih ingin tanya apalagi?" tanya penjaga pintu. "Kamu
rakus." "Semua orang berupaya berurusan dengan hukum," kata
orang itu. "Bagaimana mungkin, bertahun-tahun lamanya, tak seorangpun
kecuali saya telah minta izin menghadap hukum?" Penjaga pintu itu sadar,
bahwa orang itu sudah mendekati kematian, di samping kedunguannya bertambah,
dan untuk masuk, penjaga pintu berkata keras pada orang desa, "Tak ada
orang lain dapat izin masuk ke sini, karena pintu ini dimaksudkan hanya untuk
kamu. Sekarang saya pergi dan saya tutup pintunya.” (Tamat)
***
No comments:
Post a Comment