Saturday, August 21, 2021

Franz Kafka di Jawa

 

Diringkas oleh Sigit Susanto *
 
Bagaimana Sastrawan Praha berpindah ke tiga desa di Indonesia
 
Sebuah majalah bahasa Jerman Blickwechsel (Berganti Pandangan) milik deutsches Kulturforum di Dortmund edisi 9, Agustus 2021 memuat artikel berjudul Kafka auf Java (Kafka di Jawa). Artikel sebanyak dua halaman disertai foto-foto itu ditulis oleh Dr. Vera Schneider.
 
Bagaimana bisa bertemu majalah ini?
 
Berawal dari saya menemukan sebuah youtube berjudul Apakah Kafka sastrawan Jerman atau Cheko? (War Franz Kafka ein deutschcr oder tschechischer Autor?). Saya minta izin karena akan saya terjemahkan percakapan di youtube itu ke media sastra on line dalam bentuk tulisan bahasa Indonesia. Selain itu saya menceritakan kegiatannya di desa kelahiran yang membuat patung dan jalan Franz Kafka, juga kegiatan teman saya Heri Condro Santoso yang memandu anak-anak membaca novelet Metamorfosis Samsa, ditambah teman di desa Limbangan yang punya anak bernama Kafka.
 
Rupanya Dr. Vera Schneider tertarik sekali dengan paparan saya, sehingga ia memutuskan hendak menuliskan artikel di majalah Blickwechsel edisi berikutnya.
 
Ia mewawancarai saya lewat Zoom dan meminta beberapa foto yang menunjang tema. Dengan catatan foto tidak boleh dari HP, tapi dari kamera asli, karena kualitas foto harus bagus, untuk dicetak dalam bentuk majalah di kertas juga.
 
Pada hari Kamis, 19 Agustus datang paket berisi 20 eksemplar majalah itu ke alamat saya di Swiss. Pada halaman 8 dan 9 berisi kisah kegiatannya. Kelak saya akan membagi majalah itu ke berbagai komunitas yang terkait dengan sastra Jerman atau khususnya Franz Kafka.
 
Ada 6 foto dan 1 peta Indonesia, lengkap di mana letak desa Bebengan, kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
 
Artikel selengkapnya sebagai berikut:
Judul: Kafka auf Java (Kafka di Jawa)
Subjudul: Wie der Autor aus Prag in drei indonesische Dörfer einzog (Bagaimana sastrawan Praha berpindah ke tiga desa di Indonesia)
 
Dr. Vera Schneider menuliskan;
Sebuah angin eksotik tertiup di masa pandemi yang gelap di bulan Januari 2021 melalui homeofficenya. Sebuah Email dari Sigit Susanto masuk. Ia mengenalkan sebagai penerjemah karya-karya Franz Kafka dalam bahasa Indonesia. Ia hendak minta izin, karena menemukan  sebuah video di youtube berjudul: Apakah Kafka sastrawan Jerman atau Cheko? (War Franz Kafka ein deutscher oder tschechischer Autor?).
 
Video singkat itu menggambarkan seorang siswa Jerman bertanya kepada gurunya, Apakah Franz Kafka seorang sastrawan Jerman atau Cheko? Sang guru tak bisa menjawab, maka murid diajak gurunya masuk ke sebuah kantor bernama deutsches Kulturforum. Di kantor itu Dr. Vera Schneider menjelaskan dengan rinci, bahwa Kafka menulis dalam bahasa Jerman, namun dalam salah satu surat Kafka disebutkan, bahasa Cheko tersimpan di hati saya.
 
Yang lebih mencengangkan, ketika Sigit mengirimkan foto-foto dari desanya Bebengan di Jawa, sebuah patung Franz Kafka bercat emas memakai kaca mata pantai serta bersepatu olah raga. Apalagi ada plang jalan bertuliskan Jalan Franz Kafka, ada pula di kebunnya patung Kafka berbaju merah dikelilingi anak muda.
 
Sigit menjelaskan, seminggu lalu ada teman penyair yang meninggal dan teman-teman berdoa di depan patung Kafka, karena menganggap Kafka adalah Dewa Sastra.
 
Sebuah pemikiran lintas dunia, Kafka sebagai seorang sastrawan Jerman dari Praha dibawa ke sebuah desa dengan penduduk sekitar 8000 warga yang mayoritas muslim.
 
Menurut Sigit, jika warga desa pergi ke kali untuk mencuci pakaian, mereka setidaknya sudah mengenal nama Franz Kafka, selain sudah berdiri patung Kafka berbaju merah di kebun.
 
Bagaimana dengan minat baca anak desa? Jika desa itu tak ada listrik justru lebih mudah untuk melakukan propaganda sastra. Kenapa? Karena sepulang sekolah anak hanya ada pilihan, pergi ke masjid atau ke perpustakaan.
 
Rumah orang tua Sigit dibuat perpustakaan untuk umum. Di situ tersedia buku-buku bekas dari bahasa Indonesia, Inggris dan Jerman.
 
Berbeda lagi dengan di dusun Slamet, desa Meteseh. Heri Condro Santoso, teman Sigit mendirikan perpustakaan di rumah orang tuanya. Kegiatan rutinnya sekali dalam seminggu mengajak anak-anak membaca novelet Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka. Heri bertindak sebagai pemandu.
 
Di desa Limbangan ada bocah berusia 7 tahun diberi nama Kafka Dhrya Pradipta.
 
Anak-anak dan Kafka?
 
Mengenalkan tema transformasi sangatlah cocok untuk masyarakat Jawa yang hidup dengan mitologi lama. Ketika Sigit diminta mengajar sastra di sebuah sekolah, ia mengajarkan cerita Metamorfosis karya Franz Kafka. Dengan syarat, semua murid tidak boleh duduk di kursi, melainkan berada di bawah meja, sambil mendengarkan cerita Sigit tentang Metamorfosis. Kenapa? Bukankah tempat favorit Gregor itu berada di bawah sofa, sehingga bisa mengamati lingkungan dengan leluasa.
 
Usai menceritakan kisah Metamorfosis, anak-anak disuruh mengarang sendiri dan mereka dengan antusias bercerita menjadi binatang, namun beberapa anak akhirnya melanjutkan cerita dengan pergi ke dukun, supaya sang dukun bisa mengobati kembali menjadi manusia lagi.
 
Kegiatan lain adalah membicarakan karya berjudul Surat untuk Ayah dari Franz Kafka. Para remaja desa menyimak dengan tekun, kisah Kafka sendiri yang takut dengan ayahnya. Tak disangka, para remaja itu juga bercerita sendiri, bahwa mereka sering diperlakukan tindak kekerasan dari orang tua mereka.
 
Sebagai penutup Sigit berujar, jangan membuat orang takut dengan sastra, jika  karya sastra itu berat, bisa dimulai dengan tahu nama jalan dulu.
 
* Dr. Vera Schneider, seorang pegawai ahli pada forum budaya Jerman untuk Eropa Timur di Postdam.
***
 

 
* Diringkas oleh Sigit Susanto, Zug: 20.08.2021.
 
Sigit sejak 24 tahun silam menetap di kota Zug, Swiss menggagas kegiatan itu . Selain menjadi penerjemah ia aktif di kegiatan sastra. Sigit juga bercerita bahwa ia menerjemahkan 4 karya Kafka, serta membuat patung dan jalan Franz Kafka di desanya di Jawa.
 
Tak sampai di situ, ia melaporkan kegiatan Reading Group novelet Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka oleh bocah-bocah di dusun Slamet, desa Meteseh yang dipandu oleh Heri Condro Santoso. Heri mendirikan perpustakaan Ajar di rumah orang tuanya. Ditambah seorang teman bernama Anggy di desa Limbangan memberithu anaknya yang sedang berulang tahun ke 7 bernama juga Kafka.
 
Majalah ini beredar di Jerman juga di negara-negara Eropa Timur. Untuk membaca secara on line juga ada alamatnya: www.kulturforum.info
 
Link terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/03/kafka-dan-kuli-jawa-di-kaledonia-baru/
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/franz-kafka-di-jawa/

No comments:

Post a Comment