Diterjemahkan: Sigit Susanto
Karya: Franz Kafka
Judul asli: Der Jäger Gracchus
III. Cerita-Cerita dari karya warisan
Ilustrasi: Thomas Titus
Dua anak laki-laki duduk di tembok dermaga dan bermain
dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada tangga monumen di bawah bayangan
pahlawan yang sedang mengayunkan pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di
tongnya. Seorang pedagang sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan
memandang ke arah danau. Dari dalam kafe, ada orang mengintip lewat pintu dan
lubang jendela, di situ ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik kafe itu
duduk di depan pada sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang
pelan, sepertinya sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil.
Seorang lelaki mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat
jeruji. Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak
memikul tandu di belakang pegawai perahu, di bawah sana tergeletak dengan jelas
seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.
Di dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang
baru, sendirian ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai
perahu, tali-tali masih dikerjakan, tak ada orang yang masuk, tak ada orang
yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih
memperhatikan mereka dengan saksama.
Pimpinan perahu sekarang menunjukkan dek perahu dengan
leluasa melalui seorang perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih
dada. Kemudian datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang
sedikit menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya
lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar ramping.
Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana rombongan itu
menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi jendelanya. Pintunya
sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik hitam yang rapi. Sekelompok
merpati telah terbang mengelilingi menara jam, sekarang hinggap di depan rumah.
Ketika mereka akan mencari makanan, merpati-merpati itu berkumpul di depan
pintu. Seekor terbang sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu
merpati-merpati yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat,
ibu itu melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan
terbang melintasi ibu itu.
Seorang laki-laki mengenakan topi bundar dengan ikat
simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang penuh sampah menuju ke pelabuhan.
Dia menoleh ke sana-kemari, semua dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada
sampah di pojok, wajahnya menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah,
sambil lewat dia menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di
pintu ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan
tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah
laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.
Pimpinan perahu menuruni tangga, menyalami orang
laki-laki di situ, diajak naik ke lantai pertama , pimpinan perahu itu merasa
ringan untuk bergaul dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan
keduanya masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong
dengan penuh sopan, di sebuah kamar besar yang dingin di belakang samping
rumah, tampak di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan hanya sebuah ladang
tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan. Tukang pikul supaya
kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa lilin panjang dan
dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu hanya bayang-bayang sepi yang
seram dan berkedip-kedip di atas dinding. Dari tandu itu hanya dililit
selendang. Di tandu itu berbaring seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot
yang tumbuh liar tak beraturan, berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia
tergeletak tak bergerak, sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya,
meski demikian hanya mengesankan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah mayat.
Orang laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan
tangannya ke dahi, kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi
isyarat dengan tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka
keluar menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan
menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya, dia
memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah lewat sebuah
pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu, matanya terbelalak,
wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang laki-laki di situ dan mengatakan:
"Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang sedang berlutut itu bangkit
tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota dari Riva."
Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan kondisi
lengannya yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi undangan wali kota:
"Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap saya selalu lupa
semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan itu lebih baik, saya
tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga Anda mungkin sudah tahu, bahwa
saya pemburu Gracchus."
"Tentu," kata wali kota. "Anda memberitahu
saya malam hari ini. Kami tidur pulas. Di tengah malam istri saya memanggil:
"Salvatore," -itu nama saya- "lihatlah merpati di jendela!"
Itu benar-benar seekor merpati, tapi besar seperti seekor ayam. Merpati itu
terbang ke telinga saya dan berbisik: "Besok datang seorang pemburu
Gracchus yang sudah mati, sambutlah dia atas nama seluruh warga kota."
Pemburu itu mengangguk dan menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua
bibirnya: "Ya, merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku.
Yakinkah Anda, tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?"
"Saya belum bisa menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah
mati?" "Ya," kata pemburu, "seperti yang Anda lihat.
Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari
sebuah batu wadas di Schwarzwald - itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor
kambing gunung. Sejak itu saya mati." "Tapi Anda masih hidup
juga," kata wali kota.
"Boleh dikatakan begitu," kata pemburu,
"agaknya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya salah jalan,
sebuah putaran yang salah pada setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian
dari pimpinan perahu, membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya
tidak tahu, apa itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa
perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya
bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati
semua negara-negara di bumi." "Dan Anda tidak punya bagian di
akhirat?" tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu,
"selalu di tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak
terbatas itu saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke kanan,
kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah menjadi
seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak tertawa,"
wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa dimengerti," kata
pemburu. "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat jauh dan di atas pintu
saya tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di dalam perahu air yang
sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya yang sekali itu, saya
meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu mengetuk pintu dan
membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami segera melayari ke
pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai kayu, tapi saya tak merasa
nyaman, memandang berlama-lama - sebuah pakaian mayat yang kotor, rambut,
jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa dibereskan berantakan, paha-paha saya
ditutupi dengan selendang perempuan panjang berhiaskan bunga sutera besar. Di
depan kepala saya terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke arah saya. Di
dinding seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang dari semak
belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di belakang
ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu di perahu kadang
menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang paling tolol. Kalau tidak,
keranjang kayu saya ini akan sama sekali kosong. Lewat sebuah lubang di sisi
dinding mengalir udara malam yang panas dari arah selatan, dan saya dengar air
mengombang-ambingkan tandu tua. Di sinilah saya tinggal sejak dulu, ketika saya
masih hidup menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald saya menguntit
kambing gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi. Saya membuntuti,
saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini seharusnya membawa
saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di sini pertama
kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini mendengar nyanyian
saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih remang-remang.
Saya dulu senang hidup dan senang mati, saya terlempar
bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu, mengumpulkan kaleng-kaleng
bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan bawah saya, saya selalu bangga
memakainya, dan menyelinap di pakaian mayat, bagaikan seorang gadis yang
mengenakan pakaian perkawinan. Di sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi
musibah." "Sebuah nasib yang malang," kata wali kota menampik
dengan mengangkat tangan. "Dan Anda tak merasa bersalah?"
"Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu, apakah itu sebuah
kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di Schwarzwald, dimana dulu
masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk mengintai, menembak,
bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah? Pekerjaan saya telah direstui.
`Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah saya.` Apakah itu sebuah
kesalahan?"
"Saya tak punya tugas untuk memutuskan hal
itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat kesalahan pada saya.
Tapi siapa yang bersalah?"
"Orang di perahu," kata pemburu. "Tak
pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah ada orang datang, membantu
saya; sebenarnya menurut hukum ada orang yang membantu saya, semua pintu rumah
terkunci, semua jendela tertutup, semua tertidur, selimutnya menutup kepala,
sebuah pondokan malam di seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang
pun tahu tentang saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti
dimana persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila
saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu saya.
Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus berbaring di
tempat tidur untuk disembuhkan. Itu saya tahu dan juga tak perlu berteriak,
meminta bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak berkuasa seperti saya,
contoh langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi cukup senang untuk mengusir
pemikiran seperti itu, bila saya melihat sekeliling dan membayangkan saya,
dimana saya berada - saya bisa menganggap gembira - sejak berabad-abad saya
tinggal."
“Luar biasa," kata wali kota, "luar
biasa." "Dan sekarang Anda memperingatkan pada kita untuk tinggal di
Riva?"
"Saya tak memperingatkan," kata pemburu tertawa
dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di lutut wali kota.
"Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari itu saya tidak
bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu berjalan dengan kekuatan
angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah kematian."
***
No comments:
Post a Comment