Sunday, June 14, 2020

[Franz Kafka di Praha] Litera-Tour di Praha

Sigit Susanto

Hari Pertama:
Setelah tiba di Praha, kami lekas menaruh kopor di tempat penitipan barang, karena hotel kami ada diluar kota, maka kami akan manfaatkan sehari itu untuk jalan-jalan di tengah kota lama. Stasiun kereta api di ibu kota Praha itu, sangat sepi untuk ukuran sebuah stasiun kereta api ibu kota negara. Stasiun Gambir masih lebih rame, namun bangunan stasiun kereta api di Praha itu sangat tua, tampak beberapa orang membuntuti sambil menawarkan jasa untuk menukar mata uang asing dengan Krone (mata uang Ceko),
di dalam stasiun tampak beberapa kios menjajakan makanan kecil dan minuman, beberapa ruangan besar tak diisi oleh barang-barang modern, atau elektronik canggih, namun dipajang pakaian bekas yang dijual per kilo. Ini kesan pertama pada sebuah stasiun kereta api di ibu kota bekas negara komunis, yang sederhana mirip dengan lapangan terbang di Havana, Kuba. Dengan berpedoman buku kota Praha, kami jalan menerobos bangunan-bangunan tua dan menuju ke pusat kota. Belum banyak orang keluar, hanya tram-tram warna kuning berseliweran menaikkan penumpang.

Kami berjalan melewati jembatan Karl yang indah, yang memotong sungai Moldau, sungai itu tak mengalir dengan deras, tenang seperti air danau. Kemudian kami menyusuri jalan batu menuju istana presiden Burg Karlstejn, yang ditempati presiden Vàclav Havel. Di gang Golden itu terdapat rumah rumah kecil yang pintu masuknya agak rendah, pada rumah warna merah tua dan abu-abu nomor 22 terdapat rumah Ottla adik kandung Kafka, tempatnya sepi, sangat disukai Kafka untuk menulis. Sekarang rumah itu sebagai tempat menjual buku-buku karya Kafka dan beberapa cendera mata serta kartu pos. Sore hari kami bergegas untuk menuju hotel, karena jaraknya jauh, maka kami naik Tram dan kereta bawah tanah. Kami jadi linglung di sebuah negeri yang bahasanya tidak kami kuasai, sementara banyak tulisan di tempat-tempat umum dengan bahasa Ceko. Kami mencoba bicara dengan sopir Tram dengan menggunakan bahasa Inggris dan Jerman, dia pun tak mengerti. Akhirnya kami toh sampai ke hotel dengan naik taxi. Kesan kami di Ceko, orang-orangnya baik hati, ringan tangan bila kita memerlukan bantuan informasi. Tak tampak sifat sombong dan individual.

Hari kedua:
Cuaca yang terang benderang untuk menyusuri bekas tapak Kafka menjadi lebih bergairah. Dengan naik Tram dan kereta bawah tanah kami menuju luar kota Praha, yaitu di Zizkov/Strasnice, sebuah makam baru untuk orang Yahudi, disitu Franz Kafka beristirahat untuk selamanya. Bayangan saya makam itu mewah dan bagus seperti makam Bung Karno di Blitar. Ternyata makamnya untuk umum dan banyak di tumbuhi pohon-pohon tinggi berderet. Ketika kami masuk, seorang petugas memberi saya sebuah peci putih kecil dalam bahasa Yahudi disebut Kipa, dalam bahasa Ceko disebut Jarmulka. Kipa itu khusus bagi laki-laki dan saya pakai di atas kepala, karena angin kencang, maka kipa sering jatuh ke tanah. Baru pertama kali saya masuk makam Yahudi, agak mirip dengan makam islam, karena sama-sama tempatnya rindang dan terdiri banyak pohon. Yang membedakan, makam Yahudi ini batu nisannya setinggi rata-rata satu sampai dua meter. Terbuat dari batu marmer atau batu biasa dengan di pahat nama serta saat kelahiran dan meninggalnya. Satu batu nisan bisa digunakan oleh satu keluarga. Istri saya cepat menemukan makam Kafka di sektor 21, baris 14 nomor 33. Sebuah batu marmer warna abu-abu berbentuk kubus model belimbing tegak berdiri, tertulis: Dr Franz Kafka 1883-1924. Di bawahnya terpahat tulisan: Hermann Kafka 1854-1931. Di deretan paling bawah terpahat lagi tulisan: Julie Kafka 1856-1934. Herman Kafka adalah ayah Franz Kafka, yang meninggal setelah Franz Kafka, sedangkan Julie Kafka adalah ibu Franz Kafka. Ada sebuah lempengan marmer kecil warna hitam yang disandarkan pada nisan tersebut dengan tulisan pahat berbunyi: Gabriela Herrmannova 22.9.1889, Valerie Pollaroda 25.9.1890, Ottlie Davidoda 29.10.1892. Belakangan saya ketahui dari juru kunci makam, bila ketiga nama perempuan tersebut adalah adik-adik Kafka yang dibunuh dalam tahanan tentara Nazi. Karena Hitler telah masuk Ceko antara tahun 1942-1943. Di altar bawah nisan makam Kafka tersebut, terlihat berserakan beberapa potongan kertas kecil yang tertutup dan di tindih batu kecil. Sebuah kertas kecil putih kebetulan terbuka, dan saya baca bertuliskan: "It would habe been nice to have meet you". Saya cepat memahami, bila potongan kertas kertas kecil itu dari para peziarah dari seluruh dunia, baik yang kenal karya Kafka atau para penggemarnya. Saya pun bergerak ikut tersugesti menulis, saya tulis sepucuk kertas dalam bahasa Indonesia dan juga saya tindih batu kecil di altar nisan itu. Di depan nisan Kafka, terdapat sebuah nisan yang menjadi satu dengan pagar makam, yaitu terpahat nama: Max Brod, seorang sastrawan Ceko Yahudi sekaligus kawan Kafka yang menyelamatkan karya-karya Kafka, juga Max Brod lah yang memperkenalkan karya-karya Kafka pada umum. Karena Kafka adalah seorang pemalu tak menghendaki karya-karyanya di publikasikan. Sebelum kami meninggalkan makam, juru kunci makam memberi tahu, bila dia sering dapat kiriman kartu pos dari penggemar Kafka seluruh dunia dengan berbagai bahasa, yang ditujukan kepada Franz Kafka dengan alamat makam Yahudi itu. Sebagai kenang-kenangan saya dikasih sebuah Kipa dari juru kunci makam.

Perjalanan kami lanjutkan ke pusat kota lama, untuk makan pizza di kios pinggir jalan, kami memang suka berjalan-jalan, namum dengan cara yang amat sederhana, makan yang murah seadanya, menginap juga di losmen atau hotel sekelas losmen, yang penting bisa banyak melihat berbagai tempat dunia dengan biaya yang irit. Motto kami adalah "Travelling broden in Mind". Kemudian kami mengunjungi rumah kelahiran Kafka di Mikulasska 9 (sekarang U radnice 5) dekat alun-alun kota Praha, di ujung rumah tembok berarsitek kuno itu terpahat gambar kepala Kafka, sebelah kanannya tertulis Pameran Kafka (Kafky Exposition). Sekitar satu jam, saya mengelilingi ruang kecil pameran tentang kehidupan dan karya-karya Kafka yang di gantungkan seukuran poster. Keluarganya menjual beberapa buku karya Kafka juga foto-foto Kafka dan kaos bermotif Kafka. Praha sebagai tempat tujuan wisatawan di Eropa yang tergolong unik dengan daya tarik bangunan-bangunan kunonya, tak terkecuali profil Kafka telah dikomersilkan oleh komponen pariwisata untuk konsumsi wisatawan. Sore hari kami habiskan untuk duduk duduk di alun-alun sambil memandangi dokar-dokar antik mengangkut turis-turis manja keliling kota.

Hari ketiga:
Kami masih berputar-putar di sekitar kota lama Praha, bangunan-bangunan yang didirikan sejak abad pertengahan masih berdiri kokoh. Hampir tiap sudut jalan selalu bertemu model arsitek bangunan yang berbeda-beda dan tidak membosankan. Saya pikir hanya di Praha bangunan-bangunan kuno masih terawat dengan baik dan begitu banyaknya, dibandingkan di beberapa kota tua Eropa yang lain. Ketika kami berjalan menuju istana presiden terdapat Jalan Nerudova, kami berhenti sejenak karena teringat penyair asal Cile Pablo Neruda. Pikir saya sepintas, begitu terkenalnya Neruda sampai disini, seperti yang pernah saya lihat pada pahatan batu Pablo Neruda di pulau Capri dekat Napoli, Itali. Akhirnya kami ketahui, bahwa nama Pablo Neruda hanya sebuah pseudonim, nama aslinya adalah Neftali Ricardo Reyes y Basoalto (1904-1973), dua tahun sebelum meninggal, 1971 dia menerima hadiah nobel sastra dari Swedia. Dan saat dia berkunjung ke Praha, dia kagum dengan seorang penyair Ceko bernama Jan Nepomuk Neruda, (1834-1891). Sejak saat itu, dia mengabadikan nama Pablo Neruda sebagai nama samarannya. Jan Nepomuk Neruda, menulis dua karya sastra yang terkenal dengan judul Sejarah Kleinseither (Kleinseitner Geschichten), dan Wajah Kota Lama Praha, (Bilder aus dem alten Prag). Tema-tema utama karya sastra dari Jan Nepomuk Neruda kebanyakan menggambarkan manusia-manusia kecil yang tidak mampu hidup sehari-hari di kota miskin. Kota miskin yang dimaksud adalah yang terdapat nama jalan Nerudova itu. Kemudian kami berjalan sekitar dua kilometer sepanjang sungai Moldau, di pinggir jalan raya terdapat sebuah restoran Slavia Cafe. Warung kopi Slavia warna coklat yang cukup besar itu dulu sering digunakan untuk berkumpulnya para sastrawan Ceko, Yahudi maupun Jerman. Kafka dan Max Brod sering mengunjungi warung kopi ini. Kami masuk warung kopi Slavia dengan satu tujuan, untuk melihat lebih dekat suasana dan lingkungannya. Kami duduk di pinggir jendela, agar bisa melihat pemandangan keluar sungai Moldau, tampak beberapa tram lalu lalang, warung ini juga berhadapan langsung dengan gedung teater nasional. Sambil menunggu pesanan makanan, kami membayangkan pada beberapa orang Italia yang duduk disamping kami sedang rame ngobrol, seolah-olah mereka para sastrawan yang sedang berdiskusi alot. Ruangan warung kopi itu cukup menarik, suasananya tenang, beberapa pelayan restoran menyunggingkan senyum, di situ tersedia koran lokal. Saya jadi teringat sebuah warung kopi di Havana, tempat Hemingway nongkrong sambil minum Mohito minuman khas Kuba. Kami menikmati makan siang di warung kopi Slavia, masakan nya lezat dan disajikan dengan ramah. Sore hari kami berjalan menuju pertokoan kawasan Yahudi, saya melihat ada restoran bertuliskan Java Kava (Kopi Jawa) di jalan Kraloduorska. Saya amati lebih dekat, terdapat beberapa hiasan dinding dari batik Jawa dan ukiran Bali. Saya makin yakin, bahwa pemiliknya dari Indonesia, minimal ada hubungannya dengan budaya kita, saya mencoba masuk restoran dan bertemu dengan seorang laki-laki berkepala botak dari negara Skandinavia, yang mengatakan restoran itu tergolong baru, dia mengaku sebagai pemiliknya dan bekerja sama dengan salah seorang karyawan KBRI di negeri Slowakia. Ini sebagai catatan bagi saya, bahwa karyawan KBRI yang sudah digaji negara kita juga punya sambilan usaha. Malam hari gemerlapnya lampu warna-warni di taman dan rumah-rumah kuno menambah hidupnya suasana kota. Seolah-olah kota Praha itu tak pernah tidur.

Hari keempat:
Hari terakhir kami berjalan diseputar jalan Pariser 36, di rumah besar itu Kafka menulis buku hariannya berjudul "Amerika" (Amerika) menyusul karya yang lain "Metamorfosa" (Die Verwandlung) dan "Keputusan" (Das Urteil) yang dia tulis di Salon dari Berta Fanta yang juga sebagai apotek di jalan kota lama Ring 17, disini Kafka bertemu kawannya Max Brod dan Albert Einstein pada tahun 1910, saat itu Albert Einstein sedang bertugas menjadi dosen di Universitas Praha. Apotek itu sekarang sudah berubah menjadi sebuah toko cenderamata. Kesan saya melihat rumah-rumah yang pernah di tempati Kafka yang begitu besar dan tentu dia dari keluarga kaya. Bagaimana dengan kehidupan yang serba kecukupan itu bisa menulis karya-karya yang justru berseberangan mengagungkan sebuah eksistensi manusia. Karya-karyanya penuh ironi pada manusia modern. Sangat paradok sekali, di tengah kehidupan yang bisa dibilang mewah itu justru menghasilkan karya-karya yang menentang, menghujat dan segala bentuk ketertekanan utamanya pada Ayahnya (Brief an den Vater). Kami masih penasaran untuk mencari rumah Valerie Pollaroda, adik perempuan Kafka, disitu Kafka merampungkan karyanya berjudul "Proses" (Der Prozess), sayang tak bisa ditemukan, namun sebagai gantinya saya menemukan istana Schönborn di Triste 15, Praha 1, pada lantai dua disewa oleh Kafka, karena hanya berjarak sekitar 10 menit ke tempat kerja. Ketika saya tiba di depan gedung itu sambil berhenti melihat buku petunjuk, didatangi dua orang polisi, ternyata kami baru tahu gedung itu sekarang sebagai kedutaan Amerika. Kemudian kami juga mendatangi tempat sembahyang orang Yahudi yang disebut Sinagoga (Synagog). Bentuknya seperti gereja yang berarsitek mendekati gotik, tak jauh dari tempat Sinagoga itu rumah kelahiran Kafka, kemungkinan besar Kafka muda sering di suruh sembahyang ke Sinagoga itu oleh Ayahnya yang cukup kuat tradisi Yahudinya. Dalam buku "Surat untuk Ayah" (Brief an den Vater) Kafka mengatakan di tempat sembahyang itu banyak orang tidak membicarakan Ketuhanan, tapi justru sibuk bicara usaha dagangnya. Saya melihat beberapa orang laki-laki Yahudi sedang menyanyi di pinggir jalan sambil mengenakan kipa di kepala dan berjas hitam. Lingkungan Sinagoga itu berderet toko-toko mewah yang sebagian besar milik orang Yahudi, termasuk milik Ayah Kafka sendiri. Sambil menghabiskan waktu sore kami hanya melihat dua perwira penjaga istana presiden Burg Karlstejn yang sedang berganti tugas, dua perwira berseragam biru laut dan bersenjata laras panjang berdiri tegak tak berkedip bak patung batu, sering di foto bersama wisatawan. Sekitar 500 meter (10 menit) dari istana presiden, kami secara kebetulan melihat sebuah tulisan Indoneska Restaurace Sate (Restoran Sate Indonesia) di jalan Pohorelec 152/3, Hradcany - Praha 1. Ketika saya mendekat dan akan masuk restoran, di pintu masuk ada seorang laki-laki perawakan Indonesia berambut keriting berbaju biru, lalu saya sapa; "Apa Khabar?". Dia tersenyum sambil menjawab ramah; "Khabar Baik." dan mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Saya dibawa ke ruang dapur untuk diajak ngobrol juga diperkenalkan istrinya orang Ceko serta tukang masaknya yang dari Bali. Dalam perbincangan lebih jauh pemilik restoran sate itu diketahui bernama; Maman Abdurrachman, berasal dari Bandung. Dia menuturkan kisahnya bisa tinggal di Praha hingga 40 tahun lamanya. Dia adalah mahasiswa yang dikirim presiden Soekarno tahun 1961 untuk belajar Ekonomi di Praha. Setelah pergantian rezim, dari orde lama (orla) ke dalam orde baru (orba) para mahasiswa kiriman presiden Soekarno disuruh menanda tangani surat persetujuan untuk mengakui pemerintah orde baru (orba), dia dan banyak kawannya tidak mau menanda tanganinya, otomatis status kewarga negaraannya menjadi tak terurus atau stateless. Sejak itu dia dan banyak kawannya yang tersebar di Eropa memilih tetap hidup di Eropa hingga sekarang. Maman mengaku pernah di kunjungi mantan presiden Gusdur, seminggu sebelum Gusdur menjadi presiden. Juga Gunawan Mohamad pernah singgah di restorannya. Mengakhiri pertemuan dengan Maman, dia menambahkan bila ada sekitar 30-an orang Indonesia yang bermukim di Praha. Sayang tak banyak waktu lagi hari terakhir itu, maka kami segera menuju ke stasiun kereta api. Di jembatan Karl yang anggun nan mempesona terutama suasana sore hari, banyak wisatawan berjalan-jalan atau duduk di taman memandang kebesaran dan keunikkan jembatan Karl, sambil menunggu condongnya sang surya ditelan gedung-gedung kuno. Kami berhenti di tengah jembatan Karl, karena tergoda untuk menonton orang tua yang memainkan alat musik gitar dan seruling dari berbagai ukuran. Orang tua beruban itu tampak lusuh pakaiannya, namun memancarkan sorot mata yang tajam dan perkasa. Suaranya yang sebenarnya keras itu terdesak gelombang deras air sungai, menjadi lirih dan sayup-sayup. Pemusik tua itu menampakkan guratan sisa-sisa akar nilai komunis-sosialis yang tak menyerah ditelan jaman. Tak heran, bila Kafka menulis karyanya berjudul "Seorang Seniman Lapar" (Ein Hungerkünstler), seorang seniman yang kelaparan karena tak dapat makan .Sepanjang jembatan Karl itu di penuhi deretan pelukis jalanan. Matahari belum menghilang benar, masih banyak penjual tiket konser Mozart dengan pakaian tradisional lengkap ala pemain konser berjalan di alun-alun. Di dekat gereja tua itu, juga terpampang tulisan; Milena Cafe (Warung Kopi Milena). Kami meninggalkan Praha malam hari menuju Switzerland dengan kereta api.
***

No comments:

Post a Comment