Sigit Susanto
Hari Pertama:
Setelah tiba di Praha, kami lekas menaruh kopor di tempat
penitipan barang, karena hotel kami ada diluar kota, maka kami akan manfaatkan
sehari itu untuk jalan-jalan di tengah kota lama. Stasiun kereta api di ibu
kota Praha itu, sangat sepi untuk ukuran sebuah stasiun kereta api ibu kota
negara. Stasiun Gambir masih lebih rame, namun bangunan stasiun kereta api di
Praha itu sangat tua, tampak beberapa orang membuntuti sambil menawarkan jasa untuk
menukar mata uang asing dengan Krone (mata uang Ceko),
di dalam stasiun tampak beberapa kios menjajakan makanan kecil dan minuman, beberapa ruangan besar tak diisi oleh barang-barang modern, atau elektronik canggih, namun dipajang pakaian bekas yang dijual per kilo. Ini kesan pertama pada sebuah stasiun kereta api di ibu kota bekas negara komunis, yang sederhana mirip dengan lapangan terbang di Havana, Kuba. Dengan berpedoman buku kota Praha, kami jalan menerobos bangunan-bangunan tua dan menuju ke pusat kota. Belum banyak orang keluar, hanya tram-tram warna kuning berseliweran menaikkan penumpang.
di dalam stasiun tampak beberapa kios menjajakan makanan kecil dan minuman, beberapa ruangan besar tak diisi oleh barang-barang modern, atau elektronik canggih, namun dipajang pakaian bekas yang dijual per kilo. Ini kesan pertama pada sebuah stasiun kereta api di ibu kota bekas negara komunis, yang sederhana mirip dengan lapangan terbang di Havana, Kuba. Dengan berpedoman buku kota Praha, kami jalan menerobos bangunan-bangunan tua dan menuju ke pusat kota. Belum banyak orang keluar, hanya tram-tram warna kuning berseliweran menaikkan penumpang.
Kami berjalan melewati jembatan Karl yang indah, yang
memotong sungai Moldau, sungai itu tak mengalir dengan deras, tenang seperti
air danau. Kemudian kami menyusuri jalan batu menuju istana presiden Burg
Karlstejn, yang ditempati presiden Vàclav Havel. Di gang Golden itu terdapat
rumah rumah kecil yang pintu masuknya agak rendah, pada rumah warna merah tua
dan abu-abu nomor 22 terdapat rumah Ottla adik kandung Kafka, tempatnya sepi,
sangat disukai Kafka untuk menulis. Sekarang rumah itu sebagai tempat menjual
buku-buku karya Kafka dan beberapa cendera mata serta kartu pos. Sore hari kami
bergegas untuk menuju hotel, karena jaraknya jauh, maka kami naik Tram dan
kereta bawah tanah. Kami jadi linglung di sebuah negeri yang bahasanya tidak
kami kuasai, sementara banyak tulisan di tempat-tempat umum dengan bahasa Ceko.
Kami mencoba bicara dengan sopir Tram dengan menggunakan bahasa Inggris dan
Jerman, dia pun tak mengerti. Akhirnya kami toh sampai ke hotel dengan naik
taxi. Kesan kami di Ceko, orang-orangnya baik hati, ringan tangan bila kita
memerlukan bantuan informasi. Tak tampak sifat sombong dan individual.
Hari kedua:
Cuaca yang terang benderang untuk menyusuri bekas tapak
Kafka menjadi lebih bergairah. Dengan naik Tram dan kereta bawah tanah kami
menuju luar kota Praha, yaitu di Zizkov/Strasnice, sebuah makam baru untuk
orang Yahudi, disitu Franz Kafka beristirahat untuk selamanya. Bayangan saya
makam itu mewah dan bagus seperti makam Bung Karno di Blitar. Ternyata makamnya
untuk umum dan banyak di tumbuhi pohon-pohon tinggi berderet. Ketika kami
masuk, seorang petugas memberi saya sebuah peci putih kecil dalam bahasa Yahudi
disebut Kipa, dalam bahasa Ceko disebut Jarmulka. Kipa itu khusus bagi
laki-laki dan saya pakai di atas kepala, karena angin kencang, maka kipa sering
jatuh ke tanah. Baru pertama kali saya masuk makam Yahudi, agak mirip dengan
makam islam, karena sama-sama tempatnya rindang dan terdiri banyak pohon. Yang
membedakan, makam Yahudi ini batu nisannya setinggi rata-rata satu sampai dua
meter. Terbuat dari batu marmer atau batu biasa dengan di pahat nama serta saat
kelahiran dan meninggalnya. Satu batu nisan bisa digunakan oleh satu keluarga.
Istri saya cepat menemukan makam Kafka di sektor 21, baris 14 nomor 33. Sebuah
batu marmer warna abu-abu berbentuk kubus model belimbing tegak berdiri,
tertulis: Dr Franz Kafka 1883-1924. Di bawahnya terpahat tulisan: Hermann Kafka
1854-1931. Di deretan paling bawah terpahat lagi tulisan: Julie Kafka
1856-1934. Herman Kafka adalah ayah Franz Kafka, yang meninggal setelah Franz
Kafka, sedangkan Julie Kafka adalah ibu Franz Kafka. Ada sebuah lempengan
marmer kecil warna hitam yang disandarkan pada nisan tersebut dengan tulisan
pahat berbunyi: Gabriela Herrmannova 22.9.1889, Valerie Pollaroda 25.9.1890,
Ottlie Davidoda 29.10.1892. Belakangan saya ketahui dari juru kunci makam, bila
ketiga nama perempuan tersebut adalah adik-adik Kafka yang dibunuh dalam
tahanan tentara Nazi. Karena Hitler telah masuk Ceko antara tahun 1942-1943. Di
altar bawah nisan makam Kafka tersebut, terlihat berserakan beberapa potongan
kertas kecil yang tertutup dan di tindih batu kecil. Sebuah kertas kecil putih
kebetulan terbuka, dan saya baca bertuliskan: "It would habe been nice to
have meet you". Saya cepat memahami, bila potongan kertas kertas kecil itu
dari para peziarah dari seluruh dunia, baik yang kenal karya Kafka atau para
penggemarnya. Saya pun bergerak ikut tersugesti menulis, saya tulis sepucuk
kertas dalam bahasa Indonesia dan juga saya tindih batu kecil di altar nisan itu.
Di depan nisan Kafka, terdapat sebuah nisan yang menjadi satu dengan pagar
makam, yaitu terpahat nama: Max Brod, seorang sastrawan Ceko Yahudi sekaligus
kawan Kafka yang menyelamatkan karya-karya Kafka, juga Max Brod lah yang
memperkenalkan karya-karya Kafka pada umum. Karena Kafka adalah seorang pemalu
tak menghendaki karya-karyanya di publikasikan. Sebelum kami meninggalkan
makam, juru kunci makam memberi tahu, bila dia sering dapat kiriman kartu pos
dari penggemar Kafka seluruh dunia dengan berbagai bahasa, yang ditujukan
kepada Franz Kafka dengan alamat makam Yahudi itu. Sebagai kenang-kenangan saya
dikasih sebuah Kipa dari juru kunci makam.
Perjalanan kami lanjutkan ke pusat kota lama, untuk makan
pizza di kios pinggir jalan, kami memang suka berjalan-jalan, namum dengan cara
yang amat sederhana, makan yang murah seadanya, menginap juga di losmen atau
hotel sekelas losmen, yang penting bisa banyak melihat berbagai tempat dunia
dengan biaya yang irit. Motto kami adalah "Travelling broden in Mind".
Kemudian kami mengunjungi rumah kelahiran Kafka di Mikulasska 9 (sekarang U
radnice 5) dekat alun-alun kota Praha, di ujung rumah tembok berarsitek kuno
itu terpahat gambar kepala Kafka, sebelah kanannya tertulis Pameran Kafka
(Kafky Exposition). Sekitar satu jam, saya mengelilingi ruang kecil pameran
tentang kehidupan dan karya-karya Kafka yang di gantungkan seukuran poster.
Keluarganya menjual beberapa buku karya Kafka juga foto-foto Kafka dan kaos
bermotif Kafka. Praha sebagai tempat tujuan wisatawan di Eropa yang tergolong
unik dengan daya tarik bangunan-bangunan kunonya, tak terkecuali profil Kafka
telah dikomersilkan oleh komponen pariwisata untuk konsumsi wisatawan. Sore
hari kami habiskan untuk duduk duduk di alun-alun sambil memandangi dokar-dokar
antik mengangkut turis-turis manja keliling kota.
Hari ketiga:
Kami masih berputar-putar di sekitar kota lama Praha,
bangunan-bangunan yang didirikan sejak abad pertengahan masih berdiri kokoh.
Hampir tiap sudut jalan selalu bertemu model arsitek bangunan yang berbeda-beda
dan tidak membosankan. Saya pikir hanya di Praha bangunan-bangunan kuno masih
terawat dengan baik dan begitu banyaknya, dibandingkan di beberapa kota tua
Eropa yang lain. Ketika kami berjalan menuju istana presiden terdapat Jalan
Nerudova, kami berhenti sejenak karena teringat penyair asal Cile Pablo Neruda.
Pikir saya sepintas, begitu terkenalnya Neruda sampai disini, seperti yang
pernah saya lihat pada pahatan batu Pablo Neruda di pulau Capri dekat Napoli,
Itali. Akhirnya kami ketahui, bahwa nama Pablo Neruda hanya sebuah pseudonim,
nama aslinya adalah Neftali Ricardo Reyes y Basoalto (1904-1973), dua tahun
sebelum meninggal, 1971 dia menerima hadiah nobel sastra dari Swedia. Dan saat
dia berkunjung ke Praha, dia kagum dengan seorang penyair Ceko bernama Jan
Nepomuk Neruda, (1834-1891). Sejak saat itu, dia mengabadikan nama Pablo Neruda
sebagai nama samarannya. Jan Nepomuk Neruda, menulis dua karya sastra yang
terkenal dengan judul Sejarah Kleinseither (Kleinseitner Geschichten), dan
Wajah Kota Lama Praha, (Bilder aus dem alten Prag). Tema-tema utama karya
sastra dari Jan Nepomuk Neruda kebanyakan menggambarkan manusia-manusia kecil
yang tidak mampu hidup sehari-hari di kota miskin. Kota miskin yang dimaksud
adalah yang terdapat nama jalan Nerudova itu. Kemudian kami berjalan sekitar
dua kilometer sepanjang sungai Moldau, di pinggir jalan raya terdapat sebuah
restoran Slavia Cafe. Warung kopi Slavia warna coklat yang cukup besar itu dulu
sering digunakan untuk berkumpulnya para sastrawan Ceko, Yahudi maupun Jerman.
Kafka dan Max Brod sering mengunjungi warung kopi ini. Kami masuk warung kopi
Slavia dengan satu tujuan, untuk melihat lebih dekat suasana dan lingkungannya.
Kami duduk di pinggir jendela, agar bisa melihat pemandangan keluar sungai Moldau,
tampak beberapa tram lalu lalang, warung ini juga berhadapan langsung dengan
gedung teater nasional. Sambil menunggu pesanan makanan, kami membayangkan pada
beberapa orang Italia yang duduk disamping kami sedang rame ngobrol,
seolah-olah mereka para sastrawan yang sedang berdiskusi alot. Ruangan warung
kopi itu cukup menarik, suasananya tenang, beberapa pelayan restoran
menyunggingkan senyum, di situ tersedia koran lokal. Saya jadi teringat sebuah
warung kopi di Havana, tempat Hemingway nongkrong sambil minum Mohito minuman
khas Kuba. Kami menikmati makan siang di warung kopi Slavia, masakan nya lezat
dan disajikan dengan ramah. Sore hari kami berjalan menuju pertokoan kawasan
Yahudi, saya melihat ada restoran bertuliskan Java Kava (Kopi Jawa) di jalan Kraloduorska.
Saya amati lebih dekat, terdapat beberapa hiasan dinding dari batik Jawa dan
ukiran Bali. Saya makin yakin, bahwa pemiliknya dari Indonesia, minimal ada
hubungannya dengan budaya kita, saya mencoba masuk restoran dan bertemu dengan
seorang laki-laki berkepala botak dari negara Skandinavia, yang mengatakan
restoran itu tergolong baru, dia mengaku sebagai pemiliknya dan bekerja sama
dengan salah seorang karyawan KBRI di negeri Slowakia. Ini sebagai catatan bagi
saya, bahwa karyawan KBRI yang sudah digaji negara kita juga punya sambilan
usaha. Malam hari gemerlapnya lampu warna-warni di taman dan rumah-rumah kuno
menambah hidupnya suasana kota. Seolah-olah kota Praha itu tak pernah tidur.
Hari keempat:
Hari terakhir kami
berjalan diseputar jalan Pariser 36, di rumah besar itu Kafka menulis buku
hariannya berjudul "Amerika" (Amerika) menyusul karya yang lain
"Metamorfosa" (Die Verwandlung) dan "Keputusan" (Das
Urteil) yang dia tulis di Salon dari Berta Fanta yang juga sebagai apotek di
jalan kota lama Ring 17, disini Kafka bertemu kawannya Max Brod dan Albert
Einstein pada tahun 1910, saat itu Albert Einstein sedang bertugas menjadi
dosen di Universitas Praha. Apotek itu sekarang sudah berubah menjadi sebuah
toko cenderamata. Kesan saya melihat rumah-rumah yang pernah di tempati Kafka
yang begitu besar dan tentu dia dari keluarga kaya. Bagaimana dengan kehidupan
yang serba kecukupan itu bisa menulis karya-karya yang justru berseberangan
mengagungkan sebuah eksistensi manusia. Karya-karyanya penuh ironi pada manusia
modern. Sangat paradok sekali, di tengah kehidupan yang bisa dibilang mewah itu
justru menghasilkan karya-karya yang menentang, menghujat dan segala bentuk
ketertekanan utamanya pada Ayahnya (Brief an den Vater). Kami masih penasaran
untuk mencari rumah Valerie Pollaroda, adik perempuan Kafka, disitu Kafka
merampungkan karyanya berjudul "Proses" (Der Prozess), sayang tak
bisa ditemukan, namun sebagai gantinya saya menemukan istana Schönborn di
Triste 15, Praha 1, pada lantai dua disewa oleh Kafka, karena hanya berjarak
sekitar 10 menit ke tempat kerja. Ketika saya tiba di depan gedung itu sambil
berhenti melihat buku petunjuk, didatangi dua orang polisi, ternyata kami baru
tahu gedung itu sekarang sebagai kedutaan Amerika. Kemudian kami juga mendatangi
tempat sembahyang orang Yahudi yang disebut Sinagoga (Synagog). Bentuknya
seperti gereja yang berarsitek mendekati gotik, tak jauh dari tempat Sinagoga
itu rumah kelahiran Kafka, kemungkinan besar Kafka muda sering di suruh
sembahyang ke Sinagoga itu oleh Ayahnya yang cukup kuat tradisi Yahudinya.
Dalam buku "Surat untuk Ayah" (Brief an den Vater) Kafka mengatakan
di tempat sembahyang itu banyak orang tidak membicarakan Ketuhanan, tapi justru
sibuk bicara usaha dagangnya. Saya melihat beberapa orang laki-laki Yahudi
sedang menyanyi di pinggir jalan sambil mengenakan kipa di kepala dan berjas
hitam. Lingkungan Sinagoga itu berderet toko-toko mewah yang sebagian besar
milik orang Yahudi, termasuk milik Ayah Kafka sendiri. Sambil menghabiskan
waktu sore kami hanya melihat dua perwira penjaga istana presiden Burg
Karlstejn yang sedang berganti tugas, dua perwira berseragam biru laut dan
bersenjata laras panjang berdiri tegak tak berkedip bak patung batu, sering di
foto bersama wisatawan. Sekitar 500 meter (10 menit) dari istana presiden, kami
secara kebetulan melihat sebuah tulisan Indoneska Restaurace Sate (Restoran
Sate Indonesia) di jalan Pohorelec 152/3, Hradcany - Praha 1. Ketika saya
mendekat dan akan masuk restoran, di pintu masuk ada seorang laki-laki
perawakan Indonesia berambut keriting berbaju biru, lalu saya sapa; "Apa
Khabar?". Dia tersenyum sambil menjawab ramah; "Khabar Baik."
dan mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Saya dibawa ke ruang dapur untuk
diajak ngobrol juga diperkenalkan istrinya orang Ceko serta tukang masaknya
yang dari Bali. Dalam perbincangan lebih jauh pemilik restoran sate itu
diketahui bernama; Maman Abdurrachman, berasal dari Bandung. Dia menuturkan
kisahnya bisa tinggal di Praha hingga 40 tahun lamanya. Dia adalah mahasiswa
yang dikirim presiden Soekarno tahun 1961 untuk belajar Ekonomi di Praha.
Setelah pergantian rezim, dari orde lama (orla) ke dalam orde baru (orba) para
mahasiswa kiriman presiden Soekarno disuruh menanda tangani surat persetujuan
untuk mengakui pemerintah orde baru (orba), dia dan banyak kawannya tidak mau
menanda tanganinya, otomatis status kewarga negaraannya menjadi tak terurus
atau stateless. Sejak itu dia dan banyak kawannya yang tersebar di Eropa
memilih tetap hidup di Eropa hingga sekarang. Maman mengaku pernah di kunjungi
mantan presiden Gusdur, seminggu sebelum Gusdur menjadi presiden. Juga Gunawan
Mohamad pernah singgah di restorannya. Mengakhiri pertemuan dengan Maman, dia
menambahkan bila ada sekitar 30-an orang Indonesia yang bermukim di Praha.
Sayang tak banyak waktu lagi hari terakhir itu, maka kami segera menuju ke
stasiun kereta api. Di jembatan Karl yang anggun nan mempesona terutama suasana
sore hari, banyak wisatawan berjalan-jalan atau duduk di taman memandang
kebesaran dan keunikkan jembatan Karl, sambil menunggu condongnya sang surya
ditelan gedung-gedung kuno. Kami berhenti di tengah jembatan Karl, karena
tergoda untuk menonton orang tua yang memainkan alat musik gitar dan seruling
dari berbagai ukuran. Orang tua beruban itu tampak lusuh pakaiannya, namun
memancarkan sorot mata yang tajam dan perkasa. Suaranya yang sebenarnya keras
itu terdesak gelombang deras air sungai, menjadi lirih dan sayup-sayup. Pemusik
tua itu menampakkan guratan sisa-sisa akar nilai komunis-sosialis yang tak
menyerah ditelan jaman. Tak heran, bila Kafka menulis karyanya berjudul
"Seorang Seniman Lapar" (Ein Hungerkünstler), seorang seniman yang
kelaparan karena tak dapat makan .Sepanjang jembatan Karl itu di penuhi deretan
pelukis jalanan. Matahari belum menghilang benar, masih banyak penjual tiket
konser Mozart dengan pakaian tradisional lengkap ala pemain konser berjalan di
alun-alun. Di dekat gereja tua itu, juga terpampang tulisan; Milena Cafe
(Warung Kopi Milena). Kami meninggalkan Praha malam hari menuju Switzerland
dengan kereta api.
***
No comments:
Post a Comment