Sigit Susanto
Ketika Franz Kafka beristirahat karena penyakit
tuberkulosis (TBC) di pantai Ostsee, ia bertemu gadis bernama Dora Diamant yang
sedang mengasuh anak-anak. Dari pertemuan tersebut, mereka saling jatuh cinta
dan bersepakat akan hidup bersama di Berlin.
Di Berlin Kafka dan Dora Diamant berjalan-jalan di sebuah
taman. Di situ ada anak kecil yang sedang menangis karena kehilangan bonekanya.
Anak kecil itu bernama Katharina dengan panggilan Katja. Sedang boneka yang
hilang itu bernama Mia.
Bocah berusia enam atau tujuh tahun ini tampak gusar,
karena bonekanya dicari ke sana kemari tak ditemukan. Melihat kejadian itu,
secara spontan Kafka berlutut di depan bocah itu sembari berfantasi, “Aku tahu
di mana boneka itu berada. Boneka itu mengirim surat kepadaku lewat pos
kemarin. Tulisannya agak sulit dibaca. Jika kamu mau, besok suratnya kukasihkan
kamu di sini.“
Di luar dugaan, gadis kecil itu berhenti menangis dan
mulai percaya apa yang dikatakan Kafka. Sejak itu Kafka meluangkan waktu selama
empat minggu untuk melanjutkan fantasinya sendiri menulis surat imajiner. Isi
surat itu disebutkan,
... boneka Mia itu dari taman berjalan menuju ke stasiun.
Di stasiun kereta api, dia tak punya uang. Untungnya ada anak muda yang
menolong membelikan tiket kereta api. Mia akhirnya berada di pantai selama
beberapa hari. Namun di pantai pun ia anggap membosankan. Si Mia ingin pergi ke
seberang samudra. Datanglah sebuah kapal dan ia naik kapal pada waktu malam.
Mia inginnya akan pergi ke Amerika. Sayangnya, kapalnya hanya mendarat sampai
di Afrika.
Begitulah isi tiga pucuk surat tentang petualangan si Mia
hingga berlabuh di Afrika. Kafka lagi-lagi berada di taman menunggu bocah Katja
yang baru pulang dari sekolah. Ia masih belum bisa baca tulisan. Namun Kafka menuliskan,
...Mia juga senang bepergian, namun nanti pada perayaan
natal ia ingin pulang.
Setelah surat yang kesekian kali, Kafka mulai sibuk
menulis tema lain, seperti buku harian, surat untuk Max Brod, novel dan
coret-coretan lain, itu terjadi tahun 1923 di Berlin.
Katja merespon atas surat-surat itu kepada Kafka,...
....jika Mia lebih suka tinggal di Afrika, lalu
bagaimana?
Kafka menjawab,
...Mia telah jatuh cinta dengan seorang pangeran di
Afrika yang tempatnya sangat jauh. Tak apa, selama mereka saling bahagia.
Katja tanya lagi:
...apakah dia lebih mencintai pangerannya atau aku?
Katja setengah ragu untuk mengetahui kebenarannya,
bersamaan dengan itu ia mulai meneteskan air mata. Perlahan-lahan ia sudah
mulai menurut, ia ikut terlibat emosi, toh di Afrika juga ada pangeran.
Beberapa hari kemudian, kisah detil ini tetap diingat
oleh Katja. Kafka melanjutkan suratnya yang menyebut,
.....bahwa si Mia selama 24 jam berpikir keras dan
diputuskan akan kawin dengan pangeran Afrika.
Bagaimana menutup kisah boneka imajiner ini?
Terjadi dua perbedaan pandangan, antara Kafka dan Dora.
Dora menghendaki, agar cerita surat ini lekas selesai,
maka lebih baik beli saja boneka baru dan diberikan ke
Katja sambil dijelaskan bahwa sekarang Mia sudah berubah menjadi tua, karena
perjalanan panjangnya, tapi tetap bernama Mia.
Kafka sebaliknya, ia ingin dalam menutup kisah ini ada
sebuah pembelajaran, maka Kafka menulis surat penutup,
....aku sangat bahagia. Seandainya aku saat ikut Katja
dulu diurus dengan lebih baik, tak mungkin aku akan berkenalan dengan pangeran,
tapi hikmahnya baik juga, kalau kamu (Katja) tidak merawatku dengan hati-hati
atau sebaiknya tidak?
Dengan kata lain Kafka akan bilang secara paralel dengan
kehidupan pribadinya,...jika aku beberapa tahun sebelumnya tak terserang
tuberkulosis (TBC), kemungkinan besar sekarang aku tidak berada di Berlin
bersamamu (Dora). Itu hikmahnya, bahwa tuberkulosis (TBC) atau sebaiknya tidak?
(Sumber: Michael Kumpfmüller: Die Herrlichkeit des
Lebens, hal:100, 101,102,103)
No comments:
Post a Comment